Featured 1
Foto Ali Ibn Abi Thalib Readmore...
Featured 2
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat. Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat Readmore..
Syekh Muhammad Samman al-Madani
Beliau adalah pendiri tarekat Sammaniyah Readmore...
Featured 4
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat. Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat Readmore...
Featured 5
Penulis berfoto dengan dr.Rahman seusai melaksanakan kegiatan persulukan Readmore...
Selasa, 23 Juni 2015
Kamis, 07 Mei 2015
SILSILAH TAREKAT
SAMMANIYAH
Oleh : Saifuddin,
M.A
Silsilah tarekat
adalah genealogi otoritas spiritual. Silsilah menjelaskan jalur penerimaan
tarekat oleh seseorang. Dengan begitu, silsilah berfungsi sebagai identitas
keotentikan ajaran, sekaligus sebagai sumber otoritas seseorang dalam tarekat.
Silsilah merupakan hubungan guru
murid yang sangat panjang, biasanya tertulis rapi dalam bahasa Arab di atas
sepotong kertas, yang diserahkan kepada murid tarekat, sesudah ia melakukan
latihan dan amal-amal, dan sesudah menerima petunjuk-petunjuk, irsyad, dan
peringatan-peringatan, talqin, dan sesudah membuat janji untuk tidak
melakukan maksiat-maksiat yang dilarang oleh gurunya, dan menerima ijazah atau khirqah,
sebagai tanda boleh meneruskan lagi pelajaran tarekat itu kepada orang
lain.
Karena para Sufi mengaku bahwa
dasar-dasar pemikiran dan pengamalan sebuah tarekat berasal dari Nabi sendiri,
para pengikut sebuah tarekat memandang penting sekali urut-urutan nama para
guru yang telah mengajarkan dasar-dasar tarekat itu secara turun-temurun.
Setiap guru sebuah tarekat dengan hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan siapakah gurunya dan siapa
guru-guru sebelum dia, sampai kepada Nabi. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan
legitimasi seorang guru: menunjukkan ke cabang tarekat mana ia termasuk dan
bagaimana hubungannya dengan guru-guru tarekat lainnya.
Adapun Syekh Muda
Ahmad Arifin dalam silsilah Tarekat Sammaniyah ini menduduki rantai sanad
dengan nomor urut ke-37. silsilah dimaksud adalah rantai turunan ajaran tarekat
yang dihitung dari Nabi Muhammad S.A.W. Inilah susunan silsilah Tarekat
Sammaniyah dari Syaikh Muda Ahmad Arifin, berdasarkan ijazah dan silsilah yang
diperoleh beliau dari gurunya Syekh Muda Abdul Qadim Balubus di Sumatera Barat.
1. Allah S.W.T (Rabb al-’Izzah)
2. Jibril A.S.
3. Nabi Muhammad S.A.W.
4. Ali ibn Abi Thalib r. a. Karamullah Wajhahu
5. Imam Hasan Al-Basri r.a
6. Shaikh Habib Al-Ajami
7. Syaikh Daud al-Tha’i.
8. Syaikh Ma’ruf al-Karahi.
9. Syaikh Sirri al-Saqthi.
10.
Syaikh Junaid
al-Baghdadi.
11.
Syaikh Muhammad
Addainuri
12.
Syaikh Muhammad
al-Bakri.
13.
Syaikh Wajihuddin
al-Qath’i.
14.
Syaikh Umar
al-Bakri.
15.
Syaikh Annajib
al-Syahrawardi atau Abd al-Qahir diya ad-Din as-Suhrawardi
16.
Syaikh Qutubuddin
al-Abhari
17.
Syaikh Rukunuddin
Muhammad an-Najasyi
18.
Syaikh Sihabuddin
al-Tabrizi
19.
Syaikh Jamaluddin
al-Ahwari
20.
Syaikh Abil Haqqi
Ibrahim al-Zuhdi al-Kailani atau Abi Ishaq Ibrahim al-Kailani
21.
Syaikh Akha
Muhamad al-Basi/al-Balisi
22.
Pir Umar al-Khalwati
23.
Syaikh Amir
al-Khalwati atau Muhammad Miram al-Khalwati
24.
Syaikh Izuddin
25.
Pir Sadruddin
26.
Syaikh Abu Zakaria
al-Bakuzy
27.
Syaikh Muhammad Annahari
28.
Syaikh Halabi
Sultan Ulkarro atau Jamal al-Khalwatiyah
29.
Syaikh Muhammad
Addin al-Qustumuni
30.
Syaikh Ismail
al-Jarawi
31.
Syaikh Mustafa
Afandi Adranawy
32.
Syaikh Abdul Latif
33.
Syaikh Mustafa
al-Bakri
34.
Syaikh Muhammad
Samman al-Qadri al-Khalwatiyah Qaddasahu Ruhahu
35.
Syaikh Hasbi
36.
Syaikh Abu
al-Hasan
37.
Syaikh Muhammad
Amin ibn Muhammad Ridwan al-Madinah al-Munawwarah
38.
Syekh Abdurrahman
al-Khalidi
39.
Syekh Muda Abdul
Qadim Balubus
40.
Syekh Muda Ahmad
Arifin
Senin, 08 April 2013
SEJARAH TAREKAT SAMMANIYAH
SEJARAH TAREKAT SAMMANIYAH
Oleh : Saifuddin, M.A
Oleh : Saifuddin, M.A
Nama
Tarekat ini terambil dari nama seorang guru tasawuf yang masyhur yaitu Muhammad
ibn ‘Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i, yang dikenal dengan al-Sammani (1718 -
1775 M/1130 – 1189 H). Ia dilahirkan di Madinah dari keluarga Quraisy. Dia
melewatkan hidupnya di Madinah dan tinggal di dalam rumah bersejarah milik Abu
Bakr al-Siddiq.
Syekh
Muhammad Samman mempelajari berbagai tarekat kepada guru-guru terbesar pada
zamannya. Guru tarekatnya yang paling mengesankan adalah Mustafa ibn Kamal
ad-Din al-Bakri, pengarang produktif dan syekh tarekat Khalwatiyah dari
Damaskus, yang pernah menetap di Madinah dan wafat di Kairo pada 1749. menurut
beberapa sumber, Syekh Samman semasa kunjungannya ke Mesir (tahun 1760) pernah
belajar pada dua guru Khalwatiyah lainnya, Muhammad ibn Salim al-Hifnawi dan
Mahmud al-Kurdi, tetapi pengaruh keduanya tidak terlihat dalam karya-karya
Syekh Samman sendiri dan ‘Abd as-Samad al-Palimbani. Dalam silsilahnya, ‘Abd
as-Samad hanya menyebut rantaian guru Khalwatiyah, mulai dengan Mustafa
al-Bakri, sehingga tarekat Sammaniyah lazim dianggap cabang dari tarekat
Khalwatiyah.
Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula
dari kegiatan Syekh Muhammad Samman mengajarkan Tarekat di Madinah. Syekh
Muhammad Samman juga menjabat sebagai pintu makam Nabi di Madinah. Dalam rangka
jabatan ini, ia menerima tamu dari seluruh dunia Islam, sehingga tidak
mengherankan bila ajaran tasawufnya menggabungkan tradisi dari berbagai wilayah
dan benua: dari Maghrib dan Afrika Timur sampai ke India dan Nusantara. Oleh sebab itu
tidak mengherankan jika Tarekat ini tersebar luas dan terkenal dengan nama
Tarekat Sammaniyah.
Sebagaimana guru-guru besar tasawuf,
Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan dan kekeramatannya.
Salah satu keramatnya adalah ketika Abdullah Al-Basri – karena melakukan
kesalahan – dipenjarakan dengan kaki dan leher dirantai. Dalam kedaan yang
tersiksa, Al-Basri menyebut nama Syekh Muhammad Samman tiga kali, seketika
terlepaslah rantai yang melilitnya. Kepada seorang murid Syekh Muhammad Samman
yang melihat kejadian tersebut, Al-Basri menceritakan, “kulihat Syekh Muhammad
Samman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah
aku pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah putus.”
Perihal awal kegiatan Syekh Muhammad
Samman dalam Tarekat dan Hakikat, menurut kitab Manaqib Tuan Syekh Muhammad
Samman adalah sejak pertemuannya dengan Syekh Abdul Qadir Jailani. Kisahnya, si
suatu ketika Syekh Muhammad Samman berkhalwat di suatu tempat dengan memakai
pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu datang Syekh Abdul Qadir Jailani
membawakan pakaian jubah putih. “ini pakaian yang cocok untukmu”. Ia kemudian
memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan
jubah putih yang dibawanya. Konon semula Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi
ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW menyebarkannya dalam kota Madinah.
Di antara karya-karya Syekh Muhammad
Samman yaitu :
- An-Nafakhat al-Ilahiyah fi as-Suluk at-Tariqah al-Muhammadiyah . ( النفحة الإلهية فى كيفية السلوك الطريقة المحمدية). Buku ini berisi tentang ajaran tatacara atau thariqah yang harus dilalui oleh salik untuk sampai kepada hadrah al-Rahman, yaitu terbukanya tabir yang menghalangi penglihatan untuk sampai kepada musyahadah dengan Tuhan. Tarekat yang diajarkannya berisi ajaran mengenai tata cara berzikir, berkhalwat, bergaul, berguru, dan menjadi wali Allah.
- Ratib Samman (رواتب السمان). Ratib ini berisi tentang ajaran zikir dan doa-doa kepada Tuhan yang dibaca sesudah sembahyang isya.
- Igsya lil hafa wal mu’nisat al-Walhan (إغشى اللحفاوالمؤنسات الولهان). Naskah ini berisi tentang metode zikir dan muraqabah agar fana dan baqa dapat dicapai.
- Risalah fi Ahwali al-Muraqabah (رسالة فى أحوال المراقبة). Naskah ini berisi tentang tarekat atau metode yang dilalui oleh sufi untuk sampai kepada maqam al-fana.
- Jaliyah al-Kurab wa Manilah al-‘Arab (جلية الكرب ومنيلة العرب). Naskah ini adalah syarah dari kitab yang berisi tentang ajaran zikir dan doa yang disusun dalam bentuk qasidah dan sebagai pedoman bagi ahl al-irfan (ahli ma’rifah) untuk sampai kepada Tuhan. Naskah ini ditulis oleh murid Syekh Muhammad Samman, yaitu Syekh Abdul Hamid.
Mengenai riwayat hidup Syekh Muhammad Samman secara
terperinci tidak diketahui, hanya ada ditulis oleh salah seorang muridnya atau
khalifah yang bernama Syekh Siddiq al-Madani dalam sebuah Manaqib Tuan Syekh
Muhammad Samman, tetapi buku tersebut tidak banyak menceritakan tentang
kesalehannya dan kezuhudannya, serta keramat dan keanehan-keanehannya, yang
terdapat pada dirinya. Dalam buku tersebut dijelaskan latar belakang
penulisannya bahwa kisah-kisah wali-wali Allah dan Hadis Nabi yang menjanjikan
rahmat Allah bagi orang-orang yang suka membaca Manaqib wali-wali itu disamping
membaca Al-Qur’an, membaca tahlil, dan bersedekah, berdasarkan hal itu ia
tertarik untuk menulis sebuah Manaqib gurunya yang dianggap sebagai ahli
syari’at, tarekat dan hakikat.
Syekh Samman
mempelajari berbagai tarekat kepada guru-guru terbesar pada zamannya. Ia bukan ahli
tasawuf saja; ia juga mempelajari ilmu Islam lainnya. Suatu sumber Arab hampir
sezaman dengannya, Sulaiman al-Ahdal dalam bukunya al-Nafs al-Yamani, sebagaimana
dikutip oleh Martin Van Bruinessen menyebut lima gurunya merupakan ulama
fiqih terkenal: Muhammad al-Daqqaq, Sayyid ’Ali al-’Aththar, ’Ali al-Kurdi,
’Abd al-Wahab al-Thanthawi (di Mekkah) dan Sa’id Hilal al-Makki. Di bidang
Tasawuf dan Tauhid, gurunya yang paling mengesankan adalah Mustafa ibn Kamal
ad-Din al-Bakri, pengarang produktif dan Syekh Tarekat Khalwatiyah dari
Damaskus, yang pernah menetap di Madinah dan wafat di Kairo pada 1749. Menurut
beberapa sumber, Samman semasa kunjungannya ke Mesir tahun 1760 pernah belajar
pada guru Khalwatiyah lainnya, Muhammad ibn Salim al-Hifnawi dan Mahmud
al-Kurdi, tetapi pengaruh keduanya tidak terlihat dalam karya-karya Samman
sendiri dan ’Abd as-Samad al-Palimbani. Dalam silsilahnya, ’Abd as-Samad hanya
menyebut rantai guru Khalwatiyah, mulai dengan Mustafa al-Bakri, sehingga
Tarekat Sammaniyah lazim dianggap cabang dari Khalwatiyah. Padahal Syekh Samman
memasuki Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Qadiriyah pula, dan oleh karenanya
orang sezaman sering menyebut Muhammad ibn Abd al-Karim al-Qadiri as-Samman.
Syekh lain yang sangat berpengaruh terhadap ajaran dan praktek-praktek
Sammaniyah, walaupun Samman tidak bertemu langsung dengannya, adalah ’Abd
al-Ghani an-Nabulusi (w. 1143 H/1731 M), salah seorang guru Mustafa al-Bakri,
tokoh besar Tarekat Naqsyabandiyah dan pengarang sangat produktif, pembela Ibn
’Arabi dan ’Abd al-Karim al-Jili. Tarekat keempat yang diambil Samman adalah
Syadziliyah, yang mewakili tradisi tasawuf Maghrib dan terkenal dengan
hizib-hizibnya.
Samman
mulai mengajar perpaduan dari teknik-teknik zikir, bacaan-bacaan lain, dan
ajaran metafisika semua tarekat ini dengan beberapa tambahan (qasidah dan
bacaan lain susunannya sendiri), yang kemudian dikenal dengan nama baru
Sammaniyah. Meski Sammaniyah bukanlah satu-satunya tarekat yang merupakan
gabungan dari berbagai tarekat yang asli. Karena tidak lama kemudian, Muhammad
’Usman al-Mirghani mendirikan Tarekat Khatmiyah (perpaduan dari Naqsyabandiyah,
Qadiriyah, Syadziliyah, Junaidiyah dan Mirghaniyah), sedangkan Ahmad Khatib
Sambas membuat perpaduan sejenis dengan nama Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Kitab
Fath al-’Arifin yang secara singkat menguraikan ajaran Ahmad Khatib
Sambas begitu jelas menyamakan tarekat ini dengan Sammaniyah. Tarekat Khatmiyah
kemudian menyebar, utamanya Afrika Timur, sedangkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
tersebar ke Indonesia.
As-Samman
semasa hidupnya mengajar di Maderasah Sanjariyah yang didatangi banyak murid
dari negeri-negeri jauh. Diriwayatkan bahwa dia pernah bepergian ke Yaman dan
Mesir pada tahun 1174 H/1760 M untuk mendirikan cabang-cabang Sammaniyah dan
mengajar murid-muridnya mengenai Zikir Sammaniyah. Ia juga mendirikan Zawiyah
Sammaniyah di berbagai kota di Hijaz dan Yaman. Hikayat Syekh Muhammad Samman menceritakan
bahwa salah satu zawiyah di kota Jeddah, dibangun atas biaya Sultan Palembang,
dua tahun setelah wafat Syekh Samman yakni pada tahun 1191 H/1777 M.
Dalam
kitab Sair as-Salikin, ’Abd as-Samad menyebut tiga murid Syekh Samman
yang diizinkan mengajar Tarekat Sammaniyah, yang paling terkenal diantaranya
Siddiq ibn Umar Khan dan Muhammad Nafis. Di dalam kitab Hikayat Syeikh
Samman juga disebutkan sejumlah nama murid terkemuka Syekh Samman. Disamping
Syekh Siddiq dan Syekh Abdurrahman, kitab ini menyebut Syekh Abd al-Karim
(putra Syekh Samman), Mawla Sayyid Ahmad al-Baghdadi, Shur ad-Din al-Qabili
(dari Kabul Afganistan) dan Abd al-Wahab Afifi al-Misri. Sebagai orang
Nusantara, penulis menyebut M. Arsyad al-Banjari, Abd al-Rahman al-Fathani, dan
tiga orang Palembang: Syekh Abd as-Samad, Tuan Haji Ahmad dan dirinya, M. Muhyiddin
ibn Syihabuddin.
Murid-murid
Syekh Samman dan banyak ulama di sekitarnya menganggapnya sebagai seorang wali
yang luar biasa keramatnya. Dalam Hikayat Syekh Muhammad Samman ia disebut
Khatam al-Wilayah al-Khashshah al-Muhammadiyah dan martabatnya disamakan dengan martabat Syekh
Abdul Qadir al-Jailani. Keajaiban yang diriwayatkan dalam kitab Manaqib ini
memang melebihi keajaiban wali-wali lain.
Minggu, 07 April 2013
BIOGRAFI SYEKH MUDA AHMAD ARIFIN
BIOGRAFI SYEKH MUDA AHMAD ARIFIN
Oleh : Saifuddin, M.A
Oleh : Saifuddin, M.A
A. Riwayat Hidup Syekh Muda Ahmad Arifin
Syekh Muda ahmad Arifin dilahirkan di Tanjug Morawa pada
tanggal 1 April 1937. Ayahnya bernama Abdul Qadir dan ibunya bernama Satiroh.
Ayahnya berasal dari daerah Aceh Tenggara dan ibunya berdarah Jawa. Beliau
adalah anak keempat dari enam bersaudara. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang
taat pada agama. Ayah beliau bekerja sebagai guru agama.
Jenjang pendidikan formalnya
dimulai dengan memasuki SR (Sekolah Rakyat) pada umur 7 tahun di Padang Bulan,
Medan. Setelah menyelesaikan SR, ia melanjutkan pendidikannya ke STP (Sekolah
Teknik Pertama) di Sungai Kera, Medan dan selesai pada tahun 1953.
Didorong oleh cita-citanya
sejak kecil ingin menjadi seorang ulama, maka setelah menyelesaikan
pendidikannya di STP, ia melanjutkan pendidikan ke Pesantren Imam Ghazali yang
dipimpin oleh Dr.Syekh H. Jalaluddin yang berlokasi di Jl. Bogor no. 8,
Jakarta. Pada tahun 1962 ia menyelesaikan pendidikannya di pesantren tersebut.
Pada tahun 1966 Syekh Muda ahmad Arifin melanjutkan pendidikannya dalam bidang
Ilmu Hakikat di Perguruan Tinggi Imam Ghazali Jakarta selama dua tahun dan
memperoleh gelar “doktor” dalam bidang ruhaniah pada tahun 1968.
B. Belajar Tarekat Kepada Syekh Muda Abdul Qadim
Syekh Muda Ahmad Arifin
memulai pendidikan tarekatnya pada Syekh Muda Abdul Qadim pada tahun 1954 di
kampung Balubus. Balubus adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Dangung-Dangung, Kota Paya Kumbuh, Provinsi Sumatera Barat. Setelah lebih
kurang selama 16 tahun dalam bimbingan gurunya Syekh Muda abdul Qadim, maka
pada bulan Dzul Hijjah, bertepatan dengan bulan Februari 1970, ketika ia
mengikuti latihan suluk ketiga, sebagaimana disebutkan oleh gurunya ia
mengalami fana fillah (karam dalam zikrullah) selama tiga hari
tiga malam, mulai dari senin fajar sebeleum subuh hingga kamis fajar dan beliau
tersadar ketika azan Subuh dikumandangkan. Atas kemajuan yang diperoleh
muridnya, pada saat itu juga yang bertepatan pada bulan februari 1970, sang
guru memberikan gelar “syekh muda” kepada Ahmad Arifin yang pada saat itu
berusia 33 tahun, suatu gelar yang lazim diberikan kepada mereka yang dianggap
bisa membuka suluk dan telah mapan spiritualnya. Syekh Muda Abdul Qadim
memberikan kepadanya ijazah dan silsilah tarekat Sammaniyah.
Diantara murid-murid Syekh
Muda Abdul Qadim yang telah berhasil memperoleh ijazah dan gelar syekh adalah
Syekh Muhammad Thoib, Syekh Abdul Malik, Syekh Angko Mudo, Syekh Mukhtar
Tanjung, Syekh Ibrahim Bonjol, Syekh Baringin, dan terakhir adalah beliau
sendiri
C. Peran Syekh Muda Ahmad Arifin Sebagai Pengembang
Tarekat Sammaniyah
Beliau memulai dakwahnya di
daerah Padang Bulan Medan pada tahun 1970. beliau menanamakan majelis pengajian
yang dipimpinnya dengan nama “Majelis Pengajian Ihya Ulumuddin Tarekat
Sammaniyah”. Di dalam setiap ceramahnya dihadapan para jamaahnya ia selalu
menekankan keharusan memadukan antara syari’at dan hakikat sebagai sesuatu yang
padu bagaikan tubuh dan nyawa di mana antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Penegasan ini menjadi salah satu aturan dalam sistem tarekatnya.
Melalui murid-muridnya,
tarekat Sammaniyah tersebar ke berbagai daerah. Dalam rangka memperluas ajaran
tarekatnya, beliau membentuk komposisi kepengurusan tarekat Sammaniyah yang
dipimpinnya mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Ia menunjuk
murid-muridnya untuk membantu tugas beliau dalam menyebarluaskan ajaran tarekat
Sammaniyah ke daerah-daerah. Muridanya banyak tersebar di berbagai daerah,
mulai dari Sumatera Utara, Aceh, Riau, Kepulauan Riau, pulau Jawa, bahkan
Malaysia.
Selasa, 11 September 2012
PEMBAHASAN TENTANG PENTINGNYA PEMADUAN ANTARA SYARIAT DAN HAKIKAT
PEMBAHASAN TENTANG PENTINGNYA PEMADUAN ANTARA SYARI’AT DAN HAKIKAT DALAM PANDANGAN SYEKH MUDA AHMAD ARIFIN
Oleh : Saifuddin, M.A
Posted by Saifuddin, M.A. : Selasa, 11 September 2012
Dalam
Ilmu Tasawuf Syari’at meruapakan peraturan, Tarekat meruapakan jalan, Hakikat
merupakan keadaan dan Makrifat itu adalah tujuan akhir. Jadi sunnah harus
dilakukan dengan Tarekat, jikalau tidak dilihat pekerjaan dan cara
melakukannya, yang melihat itu adalah sahabat-sahabatnya, yang menceritakan
kepada tabi’in, lalu kepada tabi-tabi’in dan selanjutnya sebagaimana yang
dituliskan dalam Hadis, Atsar, dan dalam kitab-kitab ulama.
Jadi, bukan berarti Al-Qur’an,
Sunnah, dan Ilmu Fiqh itu tidak sempurna, tetapi masih perlu penjelasan lebih
lanjut dan bimbingan yang lebih teratur, agar pelaksanaan peraturan Allah dan
Nabi itu dapat dilakukan semestinya, tidak menurut penangkapan otak orang yang
hanya membaca dan melakukan sesuka-sukanya.
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin
Syari’at hanyalah ilmu yang mempelajari tentang ucapan dan perbuatan. Batas
Ilmu Syari’at sampai yang dapat dilihat dan didengar. Sedangkan Hakikat
merupakan pelajaran yang di dalam hati. Ilmu Hakikat berhubungan dengan yang
ghaib. Adapun tujuan Ilmu Hakikat dipelajari adalah untuk mengenal Allah. Jadi
Syari’at adalah pekerjaan zahir
sedangkan Hakikat adalah pekerjaan batin.
Demikian halnya dengan amal manusia,
juga terdiri dari amal zahir dan amal batin. Amal zahir berhubungan dengan
ucapan (qauli) dan perbuatan (fikli), sedangkan amal batin
berhubungan dengan hati (qalb). Amal zahir adalah amal yang berwaktu dan
hanya dapat dilaksanakan apabila kita memiliki kemampuan. Sebagai contoh adalah
ibadah puasa, zakat, dan haji hanya dapat dilakukan apabila telah tiba waktunya
dan mampu melaksanakannya. Sedangkan amal batin adalah amal yang tidak berwaktu
karena pekerjaan mengingat Allah dapat dilakukan setiap saat, kapan saja dan di
mana saja. Adapun mengingat Allah merupakan amal yang paling besar pahalanya di
sisi Allah sebagaimana firman Allah :
وَلَذِكْرُاللهِ
اَكْبَرِ
Artinya
: “Sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar faedahnya”. (Q.S. 29
al-Ankabut: 45).
Bahkan di dalam sebuah Hadis disebutkan :
تَفَكَّرُ
سَاعَةِ خَيْرُ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةِ
“Tafakkur (mengingat
Allah) satu detik lebih baik daripada beribadah setahun hati yang tidak
mengingat Allah”.
Demikianlah
keutamaan amal Hakikat bila dibandingkan dengan amal Syari’at. Bahkan Hadis di
atas menjelaskan bahwa mengingat Allah satu detik saja lebih baik dari pada
beramal ibadah selama setahun tetapi hatinya tidak mengingat Allah.
Sesungguhnya Allah tidak memberikan penilaian apa-apa terhadap amal ibadah yang
dilakukan tanpa mengingat-Nya dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan
yang nyata sebagaimana firman Allah :
فَوَيْلٌ
لِلْقَسْيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ, أُوْلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنِ.
Artinya : “Maka celakalah bagi orang yang
hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata”.
(Q.S. 39 az-Zumar: 22).
Menurut
Syekh Muda Ahmad Arifin penyebab Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang
berada dalam kesesatan yang nyata adalah dikarenakan mereka hanya pandai
mengatakan tetapi tidak pandai memperbuatnya. Sebagai contoh kita selalu
membaca do’a iftitah :
إِنِّى
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ...
Lisan berkata: Kuhadapkan wajahku
kepada Allah yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi.
Akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan ucapannya, sebab ia tidak tahu
wajah mana yang harus dihadapkannya kepada Allah. Kalau wajah yang zahir
dihadapkan kepada Allah berarti Allah itu mempunyai tempat dan tidak mungkin
Allah melihat wajah manusia sebab Allah itu Maha Suci. Itulah sebabnya orang
yang tidak berilmu akan terlihat olehnya macam-macam bahkan ia berkeliling
dunia di dalam sholatnya. Mengenai hal ini para Sufi berkata bahwa segala
sesuatu yang dilihat olehnya di dalam sholatnya, maka itulah yang menjadi
Tuhannya. Jika di dalam sholat ia teringat dengan anak istrinya, maka anak dan
istrinya menjadi Tuhan baginya di dalam sholatnya. Itulah sebabnya Allah tidak
menerima sholat orang yang tidak mempunyai ilmu, karena orang yang sholat itu
mensyarikatkan Tuhannya.
Keadaan seperti ini pernah dialami
oleh Imam al-Ghazali seorang professor Ahli Filsafat, Fuqaha, Maha Guru, dan
Dosen pada Universitas Nizamul Muluk pada masa Daulah Bani Abbasiyah berkuasa
di Baghdad. Pada suatu hari beliau sedang jadi imam dalam sholat berjamaah
bersama-sama murid beliau lebih kurang 300 banyaknya berdatangan dari seluruh
penjuru dunia Islam yang mana adik kandungnya yang bernama Ahmad al-Ghazali
ikut pula di dalamnya. Tiba-tiba saja di tengah sembahyang tadi adiknya
muparakah (memisahkan diri) sendirian tidak mengikuti abangnya lagi, sebab
sudah nampak dalam kasyafnya bahwa abangnya tidak lagi sah sembahyangnya,
karena tidak ingat akan Allah dan hanya ingat akan darah haid yang menjadi
masalah pengajiannya yang dibahas sebelum sembahyang tadi.
Alangkah malunya Imam al-Ghazali
bahwa sembahyangnya dibatalkan oleh adiknya yang tidak sampai kemana
pengajiannya dan tidak pula popular nama gurunya. Inilah yang menjadi penyebab
utama Imam al-Ghazali meninggalkan kemewahan hidup duniawi yang menyelimutinya
selama ini di tengah-tengah kota Baghdad menuju masjid Baitul Maqdis di
Palestina setelah belajar Tasawuf kepada Syekh Imam Zahid Abu Ali al-Farmazi
dan berkhalwat di sana lebih kuarang sebelas tahun di puncak menara. Di sanalah
beliau tersungkur sujud ke hadirat Allah karena nampak diri beliau berlumur
najis takbur semata-mata oleh karena banyaknya ilmu yang tak bersari tadi, dan
dari sanalah juga beliau meneropong dengan kasyafnya ke seluruh dunia Islam
melihat akan apa yang ada dalam hati para ulama-ulama itu.
Dengan izin Allah Taala nampaklah
isi hati ulama-ulama itu bermacam-macam. Ada yang ingin jadi Qadhil Qudha yaitu
hakim tertinggi dalam Daulah Bani Abbasiyah dan ada pula yang ingin
berebut-rebut jadi Qadhi biasa (Qadhi Daerah) dan tidak jarang pula yang suka
bertengkar dan berhujjah yang masing-masing dengan dalilnya dan keterangan yang
lengkap pada berbagai macam masalah yang menunjukkan di hadapan umum bahwa
dialah yang paling alim dan layak mengepalai madrasah-madrasah tertinggi dalam
dunia Islam (rektor universitas).
Berdasarkan kasyaf inilah
lahirnya di puncak menara itu kitab Ihya Ulumuddin bagi Imam al-Ghazali
yang isinya mengikis habis sifat-sifat mazmumah yang berpangkalan dalam hati
sanubari manusia itu. Kemudian berikutnya lahir pula kitab Bidayatul Hidayah
Minhajul Abidin, Kimia as-Sa’adah, dan kitab-kitab lainnya.
Mengenai hal ini para Sufi berkata
bahwa segala sesuatu yang dilihat olehnya di dalam sholatnya, maka itulah yang
menjadi Tuhannya. Jika di dalam sholat ia teringat dengan anak istrinya, maka
anak dan istrinya menjadi Tuhan baginya di dalam sholatnya. Itulah sebabnya
Allah tidak menerima sholat orang yang tidak mempunyai ilmu, karena orang yang
sholat itu mensyarikatkan Tuhannya. Oleh karena itu Allah melarang kita beramal
ibadah kalau kita tidak mempunyai ilmu sebagaimana firman Allah :
وَلاَتَقْفُ
مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً.
Artinya : “Dan janganlah
kamu melakukan sesuatu apabila kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati sesungguhnya akan
dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. 17 al-Isra’: 36).
Itulah sebabnya Allah melarang orang yang shalat yang
tidak berilmu karena tidak tahu bagaimana menggunakan pandangan, pendengaran,
dan hati mereka di dalam sholatnya. Sesungguhnya orang yang tidak dapat
menggunakan pandangan, pendengaran, dan hati mereka di dalam sholat pada
hakikatnya mereka adalah orang-orang yang mabuk di dalam sholatnya. Oleh sebab
itu Allah melarang mereka menghampiri sholat sebagaimana firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُواْ لاَتَقْرَبُواْ الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَرَى
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedangkan kamu dalam
keadaan mabuk”. (Q.S. 4 an-Nisa: 43).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan kepada hamba-hambanya agar terlebih dahulu mensucikan lahir dan
batinnya sebelum melaksanakan sholat. Makna suci batin adalah dapat menggunakan
pandangan, pendengaran, dan hatinya untuk mengingat Allah di dalam sholatnya.
Apabila orang itu belum dapat mensucikan batinnya, maka Allah melarang
hamba-hamba-Nya untuk menghampiri sholat, apalagi melaksanaknnya, bahkan Allah
mengancam orang-orang yang sholat sebagaimana firman Allah :
فَوَيْلٌ
لِّلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ.
Artinya : “Maka celakalah
orang-orang yang sholat, mereka itu lalai di dalam sholatnya”. (Q.S. 107
al-Ma’un: 4-5).
Adapun makna lalai di sini adalah pandangan, pikiran,
pendengaran, dan hatinya tidak dapat digunakan untuk mengingat Allah. Itulah
sebabnya Allah menyediakan neraka Jahannam bagi orang-orang yang sholat. Bahkan
Allah menyebut mereka lebih sesat dari pada binatang karena mempunyai akal
tetapi tidak dapat diperguakan untuk mengenal Allah, sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَّ
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَذَانٌ
لاَيَسْمَعُوْنَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَاْلأَنْعَمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُلَئِكَ هُمُ
الْغَفِلُونَ.
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan isi
neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakan dan mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan, dan mempunyai
telinga tetapi tidak dipergunakan. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat dari pada binatang, mereka itu orang-orang yang lalai”. (Q.S.
7 al-A’raf: 179).
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa mengamalkan Syari’at tanpa Hakikat adalah
sia-sia belaka. Mengingat begitu pentingnya pemaduan antara Syari’at dan
Hakikat ini maka Imam Mazhab yang empat: Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi
tentang pentingnya pemaduan antara Syari’at dan Hakikat, meskipun mereka
berbeda pendapat dalam masalah fiqh.
وَمَنْ
تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ تَفَصَّخْ وَمَنْ يَتَصَوَّفُ وَلَمْ يَتَفَقَّ
تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَهَا بَيْنَهُمَا فَقَدْ فَحَقَّقَ
“Barangsiapa
bersyari’at tanpa bertasawuf tidak sah dan barangsiapa yang bertasawuf tanpa
bersyari’at adalah zindiq dan barangsiapa yang menyatukan keduanya maka itulah
(Islam) yang sebenarnya.”
Ijma’ Imam Mazhab yang empat tersebut idasarkan
pada Hadis Nabi SAW:
الشَّرِيْعَةُ بِلاَ حَقِيْقَةُ عَاطِلَةُ وَالْحَقِيْقَةُ
بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ وَمَنْ فَرَقَ بَيْنَهُمَا فَهُوَ عَلَى الْكَافِرِيْنَ
Artinya: “Bersyariat tanpa
berhakikat sia-sia (kosong/hampa) dan berhakikat tanpa bersyariat batal (tidak
sah) dan barangsiapa yang memisahkan keduanyan maka ia adalah kafir”.
Jadi sesungguhnya hanya orang-orang yang mengamalkan
Syari’at dan Hakikatlah yang merupakan Islam yang sebenar-benarnya dan
merekalah yang disebut oleh Nabi sebagai golongan Ahlu Sunnah Waljamaah. Untuk
lebih jelasnya mengenai pengertian Ahlu Sunnah Waljamaah, berikut akan penulis
kutipkan pendapat Syekh Ahmad Arifin mengenai hal ini.
Menurutnya secara etimologi kata ahli bermakna
pintar atau pandai. Sunnah bermakna perintah, dan jamaah bermakna
menggabungkan. Adapun makna kata menggabungkan di sini menurutnya adalah
memadukan antara Syari’at dan Hakikat. Jadi menurutnya yang dimaksud dengan
Ahlu Sunnah Waljamaah adalah golongan yang ahli atau pandai menggabungkan
perintah Syari’at dan Hakikat. Namun menurut Syekh Muda Ahmad Arifin kebanyakan
umat Islam saat ini keliru dalam memahami makna Ahlu Sunnah Waljamaah. Menurut
mereka yang dimaksud dengan Ahlu Sunnah Waljamaah adalah berpegang teguh atau
kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga masing-masing golongan umat Islam
mengklaim diri mereka sebagai golongan Ahlu Sunnah Waljamaah, sehingga
terkadang sebahagian umat Islam yang awam menjadi bingung, golongan mana yang
harus mereka ikuti, karena semua golongan mengatakan bahwa golongan merekalah
yang paling benar.
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin, yang menjadi penyebab
perpecahan umat Islam saat ini adalah karena kebanyakan umat Islam, apabila
mereka menjumpai berbagai persoalan yang mereka hadapi, maka mereka kembalikan
kepada Al-Qur’an dan Sunnah padahal Allah berfirman :
فَإِنْ
تَنَزَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ
Artinya
: “Apabila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul, jika kamu memang benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian.” (Q.S. 4 an-Nisa: 59).
Oleh karena umat Islam saat ini
kebanyakan tidak dapat mengenal Allah, maka bila mereka menghadapi segala
sesuatu persoalan maka dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang mereka pahami
berdasarkan penangkapan otak mereka belaka. Sehingga tidak heran bila di
kalangan umat Islam banyak timbul berbagai macam paham, aliran dan golongan,
seperti: Islam Sunni, Islam Syi’ah, Islam Ahmadiyah, Islam Darul Arqam, Islam
Muhammadiyah, Islam Kaum Tua, Islam Kaum Muda, dan sebagainya. Masing-masing
golongan tersebut berpendapat bahwa hanya golongan merekalah yang paling benar
dan masing-masing mereka mengklaim diri mereka sebagai golongan Ahlu Sunnah
Waljamaah.
Namun dari berbagai golongan itu Syekh
Muda Ahmad Arifin berpendapat bahwa secara umum umat Islam di muka bumi ini
dapat dikelompokkan kepada empat golongan:
- Golongan pertama adalah Islam di sisi masyarakat,
kafir di sisi Allah. Yang dimaksud adalah bersyari’at tetapi tidak
berhakikat. Mereka adalah Ahli Ibadah yang ketat mengamalkan Syari’at Nabi, namun Allah tidak
memberikan penilaian apa-apa atas amal ibadah yang telah mereka lakukan.
Hal ini disebabkan mereka tidak mengenal yang mereka sembah. Mereka
sesungguhnya segolongan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.
- Golongan yang kedua adalah Islam di sisi Allah,
kafir di sisi masyarakat. Yang dimaksud adalah berhakikat namun tidak
bersyari’at. Mereka adalah orang-orang yang mengambil Hakikat dan
mengabaikan Syari’at, seperti sholat, puasa, zakat, dan sebagainya. Mereka
sesungguhnya adalah orang-orang yang zindiq yang menyimpang dari Al-Qur’an
dan Sunnah.
- Golongan yang ketiga adalah kafir di sisi Allah dan
kafir di sisi masyarakat. Yang dimaksud adalah tidak bersyari’at dan tidak
berhakikat. Mereka adalah orang-orang yang disebut sebagai Islam KTP. Mereka sesunggunya adalah orang-orang
yang fasiq.
- Golongan yang keempat adalah Islam di sisi Allah dan
Islam di sisi masyarakat. Yang dimaksud adalah bersyari’at dan berhakikat.
Mereka adalah Ahli Hakikat yang beribadah secara zahir dan batin dan
merekalah yang disebut oleh Nabi SAW sebagai Ahlus Sunnah Waljamaah yaitu
golongan yang memadukan antara Syari’at dan Hakikat.
Langganan:
Postingan (Atom)