Selasa, 11 September 2012

PEMBAHASAN TENTANG PENTINGNYA PEMADUAN ANTARA SYARIAT DAN HAKIKAT

1 komentar

PEMBAHASAN TENTANG PENTINGNYA PEMADUAN ANTARA SYARI’AT DAN HAKIKAT DALAM PANDANGAN SYEKH MUDA AHMAD ARIFIN
Oleh : Saifuddin, M.A
Posted by Saifuddin, M.A. : Selasa, 11 September 2012

            Dalam Ilmu Tasawuf Syari’at meruapakan peraturan, Tarekat meruapakan jalan, Hakikat merupakan keadaan dan Makrifat itu adalah tujuan akhir. Jadi sunnah harus dilakukan dengan Tarekat, jikalau tidak dilihat pekerjaan dan cara melakukannya, yang melihat itu adalah sahabat-sahabatnya, yang menceritakan kepada tabi’in, lalu kepada tabi-tabi’in dan selanjutnya sebagaimana yang dituliskan dalam Hadis, Atsar, dan dalam kitab-kitab ulama.
            Jadi, bukan berarti Al-Qur’an, Sunnah, dan Ilmu Fiqh itu tidak sempurna, tetapi masih perlu penjelasan lebih lanjut dan bimbingan yang lebih teratur, agar pelaksanaan peraturan Allah dan Nabi itu dapat dilakukan semestinya, tidak menurut penangkapan otak orang yang hanya membaca dan melakukan sesuka-sukanya.
            Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin Syari’at hanyalah ilmu yang mempelajari tentang ucapan dan perbuatan. Batas Ilmu Syari’at sampai yang dapat dilihat dan didengar. Sedangkan Hakikat merupakan pelajaran yang di dalam hati. Ilmu Hakikat berhubungan dengan yang ghaib. Adapun tujuan Ilmu Hakikat dipelajari adalah untuk mengenal Allah. Jadi Syari’at adalah  pekerjaan zahir sedangkan Hakikat adalah pekerjaan batin.
            Demikian halnya dengan amal manusia, juga terdiri dari amal zahir dan amal batin. Amal zahir berhubungan dengan ucapan (qauli) dan perbuatan (fikli), sedangkan amal batin berhubungan dengan hati (qalb). Amal zahir adalah amal yang berwaktu dan hanya dapat dilaksanakan apabila kita memiliki kemampuan. Sebagai contoh adalah ibadah puasa, zakat, dan haji hanya dapat dilakukan apabila telah tiba waktunya dan mampu melaksanakannya. Sedangkan amal batin adalah amal yang tidak berwaktu karena pekerjaan mengingat Allah dapat dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja. Adapun mengingat Allah merupakan amal yang paling besar pahalanya di sisi Allah sebagaimana firman Allah :
وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرِ
Artinya : “Sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar faedahnya”. (Q.S. 29 al-Ankabut: 45).
Bahkan  di dalam sebuah Hadis disebutkan :
تَفَكَّرُ سَاعَةِ خَيْرُ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةِ
“Tafakkur (mengingat Allah) satu detik lebih baik daripada beribadah setahun hati yang tidak mengingat Allah”.
            Demikianlah keutamaan amal Hakikat bila dibandingkan dengan amal Syari’at. Bahkan Hadis di atas menjelaskan bahwa mengingat Allah satu detik saja lebih baik dari pada beramal ibadah selama setahun tetapi hatinya tidak mengingat Allah. Sesungguhnya Allah tidak memberikan penilaian apa-apa terhadap amal ibadah yang dilakukan tanpa mengingat-Nya dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah :
فَوَيْلٌ لِلْقَسْيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ, أُوْلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنِ.
Artinya : “Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. 39 az-Zumar: 22).
            Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin penyebab Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang berada dalam kesesatan yang nyata adalah dikarenakan mereka hanya pandai mengatakan tetapi tidak pandai memperbuatnya. Sebagai contoh kita selalu membaca do’a iftitah :
إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ...
            Lisan berkata: Kuhadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan ucapannya, sebab ia tidak tahu wajah mana yang harus dihadapkannya kepada Allah. Kalau wajah yang zahir dihadapkan kepada Allah berarti Allah itu mempunyai tempat dan tidak mungkin Allah melihat wajah manusia sebab Allah itu Maha Suci. Itulah sebabnya orang yang tidak berilmu akan terlihat olehnya macam-macam bahkan ia berkeliling dunia di dalam sholatnya. Mengenai hal ini para Sufi berkata bahwa segala sesuatu yang dilihat olehnya di dalam sholatnya, maka itulah yang menjadi Tuhannya. Jika di dalam sholat ia teringat dengan anak istrinya, maka anak dan istrinya menjadi Tuhan baginya di dalam sholatnya. Itulah sebabnya Allah tidak menerima sholat orang yang tidak mempunyai ilmu, karena orang yang sholat itu mensyarikatkan Tuhannya.
            Keadaan seperti ini pernah dialami oleh Imam al-Ghazali seorang professor Ahli Filsafat, Fuqaha, Maha Guru, dan Dosen pada Universitas Nizamul Muluk pada masa Daulah Bani Abbasiyah berkuasa di Baghdad. Pada suatu hari beliau sedang jadi imam dalam sholat berjamaah bersama-sama murid beliau lebih kurang 300 banyaknya berdatangan dari seluruh penjuru dunia Islam yang mana adik kandungnya yang bernama Ahmad al-Ghazali ikut pula di dalamnya. Tiba-tiba saja di tengah sembahyang tadi adiknya muparakah (memisahkan diri) sendirian tidak mengikuti abangnya lagi, sebab sudah nampak dalam kasyafnya bahwa abangnya tidak lagi sah sembahyangnya, karena tidak ingat akan Allah dan hanya ingat akan darah haid yang menjadi masalah pengajiannya yang dibahas sebelum sembahyang tadi.
            Alangkah malunya Imam al-Ghazali bahwa sembahyangnya dibatalkan oleh adiknya yang tidak sampai kemana pengajiannya dan tidak pula popular nama gurunya. Inilah yang menjadi penyebab utama Imam al-Ghazali meninggalkan kemewahan hidup duniawi yang menyelimutinya selama ini di tengah-tengah kota Baghdad menuju masjid Baitul Maqdis di Palestina setelah belajar Tasawuf kepada Syekh Imam Zahid Abu Ali al-Farmazi dan berkhalwat di sana lebih kuarang sebelas tahun di puncak menara. Di sanalah beliau tersungkur sujud ke hadirat Allah karena nampak diri beliau berlumur najis takbur semata-mata oleh karena banyaknya ilmu yang tak bersari tadi, dan dari sanalah juga beliau meneropong dengan kasyafnya ke seluruh dunia Islam melihat akan apa yang ada dalam hati para ulama-ulama itu.
            Dengan izin Allah Taala nampaklah isi hati ulama-ulama itu bermacam-macam. Ada yang ingin jadi Qadhil Qudha yaitu hakim tertinggi dalam Daulah Bani Abbasiyah dan ada pula yang ingin berebut-rebut jadi Qadhi biasa (Qadhi Daerah) dan tidak jarang pula yang suka bertengkar dan berhujjah yang masing-masing dengan dalilnya dan keterangan yang lengkap pada berbagai macam masalah yang menunjukkan di hadapan umum bahwa dialah yang paling alim dan layak mengepalai madrasah-madrasah tertinggi dalam dunia Islam (rektor universitas).
            Berdasarkan kasyaf inilah lahirnya di puncak menara itu kitab Ihya Ulumuddin bagi Imam al-Ghazali yang isinya mengikis habis sifat-sifat mazmumah yang berpangkalan dalam hati sanubari manusia itu. Kemudian berikutnya lahir pula kitab Bidayatul Hidayah Minhajul Abidin, Kimia as-Sa’adah, dan kitab-kitab lainnya.
            Mengenai hal ini para Sufi berkata bahwa segala sesuatu yang dilihat olehnya di dalam sholatnya, maka itulah yang menjadi Tuhannya. Jika di dalam sholat ia teringat dengan anak istrinya, maka anak dan istrinya menjadi Tuhan baginya di dalam sholatnya. Itulah sebabnya Allah tidak menerima sholat orang yang tidak mempunyai ilmu, karena orang yang sholat itu mensyarikatkan Tuhannya. Oleh karena itu Allah melarang kita beramal ibadah kalau kita tidak mempunyai ilmu sebagaimana firman Allah :
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً.
Artinya : “Dan janganlah kamu melakukan sesuatu apabila kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati sesungguhnya akan dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. 17 al-Isra’: 36).
            Itulah sebabnya Allah melarang orang yang shalat yang tidak berilmu karena tidak tahu bagaimana menggunakan pandangan, pendengaran, dan hati mereka di dalam sholatnya. Sesungguhnya orang yang tidak dapat menggunakan pandangan, pendengaran, dan hati mereka di dalam sholat pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang mabuk di dalam sholatnya. Oleh sebab itu Allah melarang mereka menghampiri sholat sebagaimana firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُواْ لاَتَقْرَبُواْ الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَرَى
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk”. (Q.S. 4 an-Nisa: 43).
            Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya agar terlebih dahulu mensucikan lahir dan batinnya sebelum melaksanakan sholat. Makna suci batin adalah dapat menggunakan pandangan, pendengaran, dan hatinya untuk mengingat Allah di dalam sholatnya. Apabila orang itu belum dapat mensucikan batinnya, maka Allah melarang hamba-hamba-Nya untuk menghampiri sholat, apalagi melaksanaknnya, bahkan Allah mengancam orang-orang yang sholat sebagaimana firman Allah :
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ.
Artinya : “Maka celakalah orang-orang yang sholat, mereka itu lalai di dalam sholatnya”. (Q.S. 107 al-Ma’un: 4-5).
            Adapun makna lalai di sini adalah pandangan, pikiran, pendengaran, dan hatinya tidak dapat digunakan untuk mengingat Allah. Itulah sebabnya Allah menyediakan neraka Jahannam bagi orang-orang yang sholat. Bahkan Allah menyebut mereka lebih sesat dari pada binatang karena mempunyai akal tetapi tidak dapat diperguakan untuk mengenal Allah, sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَذَانٌ لاَيَسْمَعُوْنَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَاْلأَنْعَمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُلَئِكَ هُمُ الْغَفِلُونَ.
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan dan mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan, dan mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat dari pada binatang, mereka itu orang-orang yang lalai”. (Q.S. 7 al-A’raf: 179).
            Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa mengamalkan Syari’at tanpa Hakikat adalah sia-sia belaka. Mengingat begitu pentingnya pemaduan antara Syari’at dan Hakikat ini maka Imam Mazhab yang empat: Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi tentang pentingnya pemaduan antara Syari’at dan Hakikat, meskipun mereka berbeda pendapat dalam masalah fiqh.
وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ تَفَصَّخْ وَمَنْ يَتَصَوَّفُ وَلَمْ يَتَفَقَّ تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَهَا بَيْنَهُمَا فَقَدْ فَحَقَّقَ
“Barangsiapa bersyari’at tanpa bertasawuf tidak sah dan barangsiapa yang bertasawuf tanpa bersyari’at adalah zindiq dan barangsiapa yang menyatukan keduanya maka itulah (Islam) yang sebenarnya.”
Ijma’ Imam Mazhab yang empat tersebut idasarkan pada Hadis Nabi SAW:

الشَّرِيْعَةُ بِلاَ حَقِيْقَةُ عَاطِلَةُ وَالْحَقِيْقَةُ بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ وَمَنْ فَرَقَ بَيْنَهُمَا فَهُوَ عَلَى الْكَافِرِيْنَ
Artinya: “Bersyariat tanpa berhakikat sia-sia (kosong/hampa) dan berhakikat tanpa bersyariat batal (tidak sah) dan barangsiapa yang memisahkan keduanyan maka ia adalah kafir”.
            Jadi sesungguhnya hanya orang-orang yang mengamalkan Syari’at dan Hakikatlah yang merupakan Islam yang sebenar-benarnya dan merekalah yang disebut oleh Nabi sebagai golongan Ahlu Sunnah Waljamaah. Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian Ahlu Sunnah Waljamaah, berikut akan penulis kutipkan pendapat Syekh Ahmad Arifin mengenai hal ini.
            Menurutnya secara etimologi kata ahli bermakna pintar atau pandai. Sunnah bermakna perintah, dan jamaah bermakna menggabungkan. Adapun makna kata menggabungkan di sini menurutnya adalah memadukan antara Syari’at dan Hakikat. Jadi menurutnya yang dimaksud dengan Ahlu Sunnah Waljamaah adalah golongan yang ahli atau pandai menggabungkan perintah Syari’at dan Hakikat. Namun menurut Syekh Muda Ahmad Arifin kebanyakan umat Islam saat ini keliru dalam memahami makna Ahlu Sunnah Waljamaah. Menurut mereka yang dimaksud dengan Ahlu Sunnah Waljamaah adalah berpegang teguh atau kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga masing-masing golongan umat Islam mengklaim diri mereka sebagai golongan Ahlu Sunnah Waljamaah, sehingga terkadang sebahagian umat Islam yang awam menjadi bingung, golongan mana yang harus mereka ikuti, karena semua golongan mengatakan bahwa golongan merekalah yang paling benar.
            Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin, yang menjadi penyebab perpecahan umat Islam saat ini adalah karena kebanyakan umat Islam, apabila mereka menjumpai berbagai persoalan yang mereka hadapi, maka mereka kembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah padahal Allah berfirman :
فَإِنْ تَنَزَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ
Artinya : “Apabila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu memang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Q.S. 4 an-Nisa: 59).
            Oleh karena umat Islam saat ini kebanyakan tidak dapat mengenal Allah, maka bila mereka menghadapi segala sesuatu persoalan maka dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang mereka pahami berdasarkan penangkapan otak mereka belaka. Sehingga tidak heran bila di kalangan umat Islam banyak timbul berbagai macam paham, aliran dan golongan, seperti: Islam Sunni, Islam Syi’ah, Islam Ahmadiyah, Islam Darul Arqam, Islam Muhammadiyah, Islam Kaum Tua, Islam Kaum Muda, dan sebagainya. Masing-masing golongan tersebut berpendapat bahwa hanya golongan merekalah yang paling benar dan masing-masing mereka mengklaim diri mereka sebagai golongan Ahlu Sunnah Waljamaah.
            Namun dari berbagai golongan itu Syekh Muda Ahmad Arifin berpendapat bahwa secara umum umat Islam di muka bumi ini dapat dikelompokkan kepada empat golongan:
  1. Golongan pertama adalah Islam di sisi masyarakat, kafir di sisi Allah. Yang dimaksud adalah bersyari’at tetapi tidak berhakikat. Mereka adalah Ahli Ibadah yang ketat mengamalkan  Syari’at Nabi, namun Allah tidak memberikan penilaian apa-apa atas amal ibadah yang telah mereka lakukan. Hal ini disebabkan mereka tidak mengenal yang mereka sembah. Mereka sesungguhnya segolongan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.
  2. Golongan yang kedua adalah Islam di sisi Allah, kafir di sisi masyarakat. Yang dimaksud adalah berhakikat namun tidak bersyari’at. Mereka adalah orang-orang yang mengambil Hakikat dan mengabaikan Syari’at, seperti sholat, puasa, zakat, dan sebagainya. Mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang zindiq yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah.
  3. Golongan yang ketiga adalah kafir di sisi Allah dan kafir di sisi masyarakat. Yang dimaksud adalah tidak bersyari’at dan tidak berhakikat. Mereka adalah orang-orang yang disebut sebagai Islam KTP.  Mereka sesunggunya adalah orang-orang yang fasiq.
  4. Golongan yang keempat adalah Islam di sisi Allah dan Islam di sisi masyarakat. Yang dimaksud adalah bersyari’at dan berhakikat. Mereka adalah Ahli Hakikat yang beribadah secara zahir dan batin dan merekalah yang disebut oleh Nabi SAW sebagai Ahlus Sunnah Waljamaah yaitu golongan yang memadukan antara Syari’at dan Hakikat.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        


Continue reading →

PEMBAHASAN TENTANG MASALAH ZIKIR DALAM PANDANGAN SYEKH MUDA AHMAD ARIFIN

0 komentar

PEMBAHASAN TENTANG MASALAH ZIKIR
DALAM PANDANGAN SYEKH MUDA AHMAD ARIFIN
Oleh : Saifuddin, M.A
Posted by Saifuddin, M.A. : Selasa, 11 September 2012

a. Pengertian Zikir
            Zikir merupakan salah satu unsure terpenting dalam ajaran Tarekat/Tasawuf. Di dalam bahasa Arab secara garis besar zikr memiliki dua makna yaitu menyebut dan mengingat. Yang menjadi permasalahan pertama adalah apabila kata zikir itu diberi makna dengan menyebut, maka apakah nama Allah itu dapat disebut ?, sedangkan nama Allah itu qadim (la harfun wa la sautun :tidak berhuruf dan tidak bersuara). Di dalam Al-Qur’an maupun Hadis secara tegas Allah memerintahkan kepada setiap mukmin agar senantiasa berzikir kepada Allah, baik di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring dan di mana saja berada. Apabila yang dimaksud  dengan zikir itu adalah menyebut, bagaimana cara mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari ?
            Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis terlebih dahulu akan menguraikan kalimat Allah yang merupakan asma-Nya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah memiliki sembilan puluh sembilan (99) nama sifat, yang mana kesemuanya itu tunduk kepada nama Zat yaitu Allah. Kalimat Allah terdiri dari empat huruf, yaitu alif, lam, lam, dan ha, yang kesemuanya itu masih dapat disebut karena berhuruf dan bersuara. Apabila dihilangkan huruf alif pada kalimat Allah, maka kalimat Allah itu masih dapat disebut sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 120 :
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَتِ وَاْلأَرْضِ وَمَافِهِنَّ
Apabila huruf lam dihilangkan, maka nama Allah itu masih dapat disebut sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am ayat 13 :
وَلَهُ مَاسَكَنَ فِى الَّيْلِ وَالنَّهَارِ
Apabila huruf lam yang kedua dihilangkan, maka tinggallah huruf ha yang di dalam bahasa Arab dhamir (kata ganti) dari huruf ha adalah hua, sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am ayat 61:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ

            Apabila huruf ha dihilangkan, maka asma Allah tidak dapat disebut lagi. Maka sampai disinilah batas kemampuan lisan menyebut asma Allah Ta’ala, karena sesungguhnya asma Allah Ta’ala itu adalah qadim, yaitu tidak berhuruf dan tidak bersuara. Oleh sebab itu segala sesuatu yang berkaitan dengan asma Allah yang dapat disebut dengan lisan, maka jatuh hukumnya kepada sifat memuji, sebab pekerjaan memuji adalah pekerjaan lisan, seperti tahmid, tahlil, takdis, dan takbir.
            Oleh sebab itu, zikir adalah pekerjaan qalbi dan bukan pekerjaan lisan, sebagaimana firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُواْ أُذْكُرُواْاللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا. وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.(Q.S. 33 al-Ahzab: 41-42).
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَوةَ فَاذْكُرُواْاللهَ قِيَمًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوْبِكُم.
Artinya : “Maka apabila kamu telah melaksanakan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring”. (Q.S. 4 an-Nisa: 103).
            Kedua ayat di atas secara tegas mewajibkan kepada setiap orang yang beriman untuk senantiasa berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring, dan di mana saja berada. Jadi berdasarkan kedua ayat di atas bahwa zikir bukanlah pekerjaan lisan, karena lisan sesungguhnya memiliki keterbatasan. Karena jika hendak melaksanakan perintah kedua ayat di atas, maka keringlah lisan kita dalam mengucap tahmid, tahlil, takdis, dan takbir. Apalagi pada saat kita bekerja dan berbicara, maka mustahil kita dapat mengingat Allah bila yang dimaksud dengan mengingat Allah itu adalah dengan mengucap tahmid, tahlil, takdis, dan takbir, sedangkan kita diperintahkan untuk mengingat Allah kapan saja, di mana saja, dan dalam segala keadaan, maka tentu mustahil lisan dapat melakukan itu.
            Yang menjadi permasalahan kedua adalah, apabila kata zikir itu diberi makna dengan mengingat, maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara mengingat Allah, sebab mengingat sesungguhnya adalah pekerjaan otak dan mustahil otak dapat mengingat sesuatu yang tidak pernah disaksikannya, sedangkan Allah itu adalah ghaib dan tidak dapat disaksikan oleh mata manusia. Lalu dapatkah otak manusia mengingat Allah yang tidak pernah dilihatnya?
            Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُواْ التَّقُواْاللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan mendekatkan diri kepada-Nya”. (Q.S. al-Maidah: 35).
            Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin makna wasilah pada ayat di atas adalah keharusan mencari jalan untuk dapat mengenal Allah. Jadi agar kita dapat mengenal Allah kita harus mencari jalan atau wasilah (perantara) atau Guru yang dapat mengenalkan kita kepada Allah. Adapun fungsi Guru yaitu sebagai pemberi ilmu yang menyampaikan pengenalan kepada Allah. Setelah murid dapat mengenal Allah, maka murid dapat beribadah dan berhubungan langsung kepada Allah tanpa perantara siapapun. Jadi fungsi guru hanya sebatas perantara yang bertugas menyampaikan pengenalan kepada Allah tanpa perantara siapapun. Jadi fungsi Guru hanya sebatas perantara yang bertugas menyampaikan pengenalan kepada Allah dan bukan perantara di dalam beribadah. Oleh sebab itu jika manusia ingin beribadah dan berhubungan secara langsung kepada Allah, haruslah mencari wasilah (perantara) terlebih dahulu agar dapat mengenal-Nya. Karena sedemikian pentingnya peran Guru atau wasilah dalam upaya untuk memperoleh pengenalan kepada Allah sehingga Nabi menyuruh kita untuk menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah sebagaimana Hadis Nabi yang berbunyi:
عن دود عن ابن مسعود قال رسول الله ص م : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
Artinya: “Sertakan dirimu kepada Allah, jika kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)
            Jadi berdasarkan penjelasan ayat dan Hadis di atas dapatlah diketahui bahwa tanpa Guru (wasilah) mustahil manusia itu dapat mengenal Allah, apalagi dapat mengingat-Nya. Jadi sesungguhnya yang dapat berzikir kepada Allah hanyalah orang-orang yang telah berwasilah (menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah atau Guru).
            Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa makna zikir yang sesungguhnya adalah mengingat dan mustahil kita dapat mengingat Allah, tanpa terlebih dahulu kita menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah (berwasilah). Namun kenyataannya mayoritas umat Islam saat ini mengabaikan wasilah dan menganggapnya sebagai perbuatan yang syirik. Padahal sesungguhnya orang-orang yang mengabaikan wasilah pada hakikatnya telah menjadikan diri mereka sebagai orang-orang yang syirik kepada Allah karena tidak dapat mengenal-Nya, apalagi dapat mengingat-Nya.
            Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Di mana-mana umat Islam saat ini banyak melaksanakan kegiatan zikir, baik secara individu maupun secara beramai-ramai, baik di masjid-masjid, hingga di majelis zikir, dan do’a bersama yang dilaksanakan di lapangan terbuka, namun sesungguhnya mereka hanya memuji tetapi tidak mengenal yang mereka puji. Sesungguhnya zikir yang dilaksanakan tanpa disertai hati yang mengingat Allah, pada hakikatnya adalah pekerjaan yang sia-sia dan tidak memberikan manfaat apa-apa, karena Allah Ta’ala tidak akan memberi penilaian sama sekali terhadap apa yang mereka perbuat.
            Lalu bagaimanakah zikir yang sesungguhnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut akan penulis kutipkan penjelasan firman Allah mengenai hal ini :
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِى نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُنْ مِنَ الْغَفِلِيْنَ.
Artinya : “Dan ingatlah Tuhanmu di dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dizahirkan dengan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang lalai”. (Q.S. 7 al-A’raf: 205).
            Firman Allah di atas menegaskan bahwa mengingat Allah itu tidak dizahirkan dengan suara. Makna tidak dizahirkan dengan suara juga meliputi tidak boleh disebut-sebutkan di dalam hati, sebab bila mengingat Allah itu dilakukan dengan menyebut asma Allah itu di dalam hati dengan tidak dizahirkan, maka sesungguhnya kemampuan manusia sangat terbatas untuk melakukan hal itu. Karena perintah untuk mengingat Allah itu harus dilakukan pada setiap saat, kapan saja, dan di mana saja. Sebagai contoh misalnya, pada saat kita sedang beraktifitas, seperti berfikir dan berbicara, tentu mengingat Allah dengan menyebut-nyebut asma-Nya di dalam hati tidak akan dapat terlaksana, sedangkan Allah memerintahkan kepada kita untuk mengingat-Nya di waktu pagi dan petang, di mana saja, dan kapan saja, baik di waktu duduk dan berdiri, di waktu diam dan berbicara dan disegala aktifitasnya sebagai hamba Allah yang beriman, kita diperintahkan untuk selalu mengingat-Nya. Oleh sebab itu Allah  memerintahkan  kepada kita untuk mengingat-Nya di dalam diri. Makna di dalam diri pada ayat ini tentunya tidak hanya sebatas qalbu saja, tetapi meliputi seluruh tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki semuanya diperintahkan untuk berhadap berzikir kepada Allah hingga darah yang setitik dan rambut yang sehelai semuanya berhadap berzikir kepada Allah.
            Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa zikir yang sesungguhnya tidak dizahirkan dengan ucapan dan tidak pula disebut-sebutkan di dalam hati. Oleh sebab itu yang dapat berzikir kepada Allah sesungguhnya hanya orang-orang yang telah menyertakan diri kepada orang yang telah serta kepada Allah, karena tanpa Guru (wasilah), mustahil manusia dapat mengenal Allah. Sesungguhnya penyebab umat Islam saat ini tidak dapat mengenal Allah disebabkan ulama-ulama fasiq, sebagaimana sabda Nabi SAW:
عَنْ عَلِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانُ لاَيَبْقَى مِنَ اْلإِسْلاَمِ اِلاَّ اِسْمُهُ وَلاَمِنَ الدِّيْنِ اِلاَّ رَسْمُهُ وَلاَمِنَ الْقُرْأَنِ اِلاَّ دَرْسُهُ مَسَاجِدَهُمْ عَامِرَةٌ وَهُوَ خَرَبٌ عَنْ ذِكْرِاللهِ, أَشَرُّ عَلَى ذَلِكَ الزَّمَانُ عُلَمَائُهُمْ. قُلْتُ يَارَسُولَ اللهُ : يَكُوْنَ فِى اْلأَخِرِ الزَّمَانِ عُبَادِ جَاهِلُوْنَ وَالْعُلَمَاءُ فَاسِقُوْنَ.
Dari Ali r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang nanti di akhir zaman agama Islam itu tinggal namanya, agama Islam itu tinggal bentuknya saja, Al-Qur’an tinggal di bibir saja dan banyak yang beramal ibadah di masjid-masjid, namun hati mereka kosong yang ingat kepada Allah, yang paling berbahaya pada akhir zaman nanti adalah para ulama. Maka berkata Ali: “Katakanlah ya Rasulullah”, maka berkata Rasulullah : Akan terjadi nanti di akhir zaman banyak orang yang bermal ibadah bodoh-bodoh disebabkan ulama-ulama fasiq.
            Hadis di atas menjelaskan bahwa akan terjadi di masa yang akan datang nanti banyak orang yang berzikir di masjid-masjid, namun tidak ada satupun di antara mereka yang hatinya mengingat Allah. Yang paling ditakutkan Nabi di akhir zaman nanti bukanlah Yahudi dan Nasrani, akan tetapi para ulamalah yang ditakuti Nabi, yaitu ulama-ulama fasiq, dimana mereka hanya pandai berbicara, namun mereka tidak pandai memperbuatnya. Ulama-ulama masa kini senantiasa selalu menganjurkan dan menyeru umatnya untuk berzikir, namun mereka sendiri sesungguhnya tidak tahu bagaimana tata cara berzikir kepada Allah yang sesungguhnya. Dan penyakit yang lebih parah sesungguhnya adalah mereka itu tidak tahu kalau mereka itu tahu, bahkan yang lebih parah lagi adalah mereka tidak mau tahu akan hal-hal yang mereka belum ketahui, karena mereka telah sangat puas dengan yang telah mereka ketahui. Sesungguhnya inilah penyakit yang paling berbahaya, karena disebabkan kesombongannya ia telah menghijab dirinya sendiri dari kebenaran itu. Oleh sebab itu Allah mengutuk orang-orang seperti ini sebagaimana firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَاللهِ أَنْ تَقُولُواْ مَالاَ تَفْعَلُوْنَ.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan”. (Q.S. 61 as-Shaff: 2-3).
            Jadi sesungguhnya yang menjadi perusak Islam itu tidak lain adalah ulama itu sendiri. Salah satu contoh kerusakan yang dilakukan oleh ulama masa kini terhadap Islam adalah penolakan mereka terhadap wasilah yang mereka anggap sebagai perbuatan syirik dan mereka menganggap bahwa tauhid merekalah yang paling murni. Kebencian mereka terhadap Ahli Tarekat mencapai puncaknya dengan timbulnya gerakan Wahabiyah yang amat ketat mengamalkan kemurnian Syari’at yang secara terang-terangan telah menyapu bersih Ahli-ahli Tarekat dari Saudi Arabia dengan alasan pemurnian tauhid. Sesungguhnya kebencian mereka terhadap Ahli-ahli Tarekat adalah disebabkan keawaman dan ketidakpahaman mereka terhadap ajaran Tarekat yang sebenarnya. Dengan dalih pemurnian tauhid, gerakan Wahabi dengan pahamnya, telah menyesatkan umat Islam sehingga mereka tidak mengenal Tuhannya. Maka tidaklah berlebihan jika Imam al-Ghazali berpendapat bahwa andaikata orang awam itu berbuat zina dan mencuri itu adalah lebih baik baginya, daripada ia membicarakan tentang Allah dan agama-Nya tanpa ilmu yang sempurna, niscaya ia terjerumus dalam juram kekufuran tanpa disadari, sebagaimana orang yang hendak mengarungi lautan yang dalam tetapi ia tidak mengerti cara berenang.
            Demikianlah dampak yang ditimbulkan oleh kebencian yang dilakukan oleh orang-orang yang menolak Ahli-ahli Tarekat yang disebabkan oleh ketidakpahaman mereka. Dengan dalih pemurnian tauhid, tidak hanya diri mereka saja yang telah sesat, bahkan dengan gerakan Wahabinya, mereka telah mengajak seluruh umat Islam untuk mengikuti kesesatan yang mereka lakukan.
Continue reading →

BAGAIMANAKAH CARA MENGENAL ALLAH ?

10 komentar

BAGAIMANAKAH CARA MENGENAL ALLAH ?
Oleh : Saifuddin, M.A
Posted by Saifuddin, M.A : Selasa, 11 September 2012

Tanya: Bagaimanakah cara kita mengenal Allah ?
Jawab:  Syeikh Ahmad Arifin berpendapat bahwa setiap yang ada pasti dapat dikenal dan hanya yang tidak ada yang tidak dapat dikenal. Karena Allah adalah zat yang wajib al-wujud yaitu zat yang wajib adanya, tentulah Allah dapat dikenal, dan kewajiban pertama bagi setiap muslim adalah terlebih dahulu mengenal kepada yang disembahnya, barulah ia berbuat ibadah sebagimana sabda Nabi :
أَوَلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ
Artinya: “Pertama sekali di dalam agama ialah mengenal Allah
Kenallah dirimu, sebagaimana sabda Nabi SAW
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ رَبَّهُ فَسَدَ جَسَدَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya.
            Lalu diri mana yang wajib kita kenal? Sungguhnya diri kita terbagi dua sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 20 :
وَأَسْبَغَ عَليْكُمْ نِعَمَهُ ظَهِرَةً وَبَاطِنَةً
Artinya : Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat batin.
Jadi berdasarkan ayat di atas, diri kita sesungguhnya terbagi dua:
1.      Diri Zahir yaitu diri yang dapat dilihat oleh mata dan dapat diraba oleh tangan.
2.      Diri batin yaitu yang tidak dapat dipandang oleh mata dan tidak dapat diraba oleh tangan, tetapi dapat dirasakan oleh mata hati. Adapun dalil mengenai terbaginya diri manusia
Karena sedemikian pentingnya peran diri yang batin ini di dalam upaya untuk memperoleh pengenalan kepada Allah, itulah sebabnya kenapa kita disuruh melihat ke dalam diri (introspeksi diri)  sebagimana firman Allah dalam surat az-Zariat ayat 21:
وَفِى اَنْفُسِكُمْ اَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
Artinya : Dan di dalam diri kamu apakah kamu tidak memperhatikannya.

Allah memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya disebabkan karena di dalam diri manusia itu Allah telah menciptakan sebuah mahligai yang mana di dalamnya Allah telah menanamkan rahasia-Nya sebagaimana sabda Nabi di dalam Hadis Qudsi :
بَنَيْتُ فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغْافًا وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا (الحديث القدسى)
Artinya: “Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad) dan dalam mata hati (fuad) itu ada penutup mata hati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr) dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)
Bagaimanakah maksud hadis ini? Tanyalah kepada ahlinya, yaitu ahli zikir, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahal ayat 43 :
فَاسَئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Tanyalah kepada ahli zikrullah (Ahlus Shufi) kalau kamu benar-benar tidak tahu.”
            Karena Allah itu ghaib, maka perkara ini termasuk perkara yang dilarang untuk menyampaikannya dan haram pula dipaparkan kepada yang bukan ahlinya (orang awam), seabagimana dikatakan para sufi:
وَلِلَّهِ مَحَارِمٌ فَلاَ تَهْتَكُوْهَا
Artinya: “Bagi Allah itu ada beberapa rahasia yang diharamkan membukakannya kepada yang bukan ahlinyah”.
Nabi juga ada bersabda :
وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ هَذَالْعُلُوْمَ يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ  
Artinya: “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada kamu. Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah sekalian ilmu pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya.
اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ
Artinya : “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan ahlinya.”
            Adapun tentang Ilmu Fiqih atau Syariat Nabi bersabda:
بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ اَيَةً
Artinya: “Sampaikanlah oleh kamu walau satu ayat saja”.
            Adapun Ilmu Fiqih tidak boleh disembunyikan, sebagaimana sabda Nabi SAW:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا لِجَمِّهِ اللهِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa yang telah menyembunyikan suatu ilmu pengetahuan (ilmu syariat) akan dikekang oleh Allah ia kelak dengan api neraka”.
            Adapun ilmu hakikat atau ilmu batin memang tidak boleh disiar-siarkan kecuali kepada orang yang menginginkannya. Memberikan dan mengajarkan ilmu hakikat kepada yang bukan ahlinya ditakuti jadi fitnah disebabkan pemikiran otak sebahagian manusia ini tidak sampai mendalami ke lubuk dasarnya yaitu ilmu Allah Ta’ala. Ibarat kayu di hutan tidak sama tingginya, air di laut tidak sama dalamnya, dan tanah di bumi tidak sama ratanya, demikian halnya dengan manusia. Maka ahli Zikir (ahlus Shufi) inilah yang mendekati maqam wali-wali Allah yang berada di bawah martabat para nabi dan rasul. Inilah makna tujuan Allah memerintahkan supaya bertanya kepada ahli Zikir, karena ahli Zikir adalah orang-orang yang senantiasa hati dan pikirannya selalu ingat kepada Allah serta senantiasa mendapat bimbingan ilham dari Allah SWT.
            Oleh karena itu, agar kita dapat mengenal Allah, maka kita harus mempunyai pembimbing rohani atau mursyid. Tentang hal ini Abu Ali ats-Tsaqafi bertaka, “seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang syeikh yang memiliki akhlak luhur dan dapat memberinya nasehat-nasehat. Dan barang siapa yang tidak mengambil akhlaknya dari seorang syeikh yang melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah”.
            Namun tidaklah ilmu pengenalah kepada Allah ini diperoleh dengan mudah begitu saja seperti mempelajari ilmu syari’at, karena ada satu syarat yang paling utama yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu mengambil ilmu ini dengan dibai’at oleh seorang mursyid yang kamil mukamil yang masuk dalam rantai silsilah para syeikh tarekat sufi yang bersambung-sambung sampai kepada Rasulullah SAW. Oleh karena itu jalan satu-satunya bagi kita untuk dapat mengenal Allah adalah dengan mempelajari ilmu tarekat di bawah bimbingan seorang mursyid.

Tanya : Mengapa hati memegang peran penting di dalam mengenal Allah?
Jawab : Bila kita sebut nama hati, maka hati yang dimaksud di sini bukanlah hati yang merah tua seperti hati ayam yang ada di sebelah kiri yang dekat jantung kita itu. Tetapi hati ini adalah alam ghaib yang tak dapat dilihat oleh mata dan alat panca indra karena ia termasuk alam ghaib (bersifat rohani). Tiap-tiap diri manusia memiliki hati sanubari, baik manusia awam maupun manusia wali, begituja para nabi dan rasul. Pada hati sanubari ini terdapat sifat-sifat jahat (penyakit hati), seperti : hasad, dengki, loba, tamak, rakus, pemarah, bengis, takbur, ria, ujub, sombong, dan lain-lain. Tetapi bilamana ia bersungguh-sungguh di dalam tarekatnya di bawah bimbingan mursyidnya, maka lambat laun hati yang kotor dan berpenyakit tadi akan bertukar bentuknya dari rupa yang hitam gelap pekat menjadi bersih putih dengan mengikuti kegiatan suluk atau khalwat secara kontinyu. Manakala hati yang hitam tadi telah berubah menjadi putih bersih, barulah ia memberikan sinar. Hati yang putih bersih bersinar itulah yang dinamakan hati Rohani (Qalbu) atau disebut juga dengan diri yang batin.
            Seumpama kita bercermin di depan kaca, maka kita tidak akan dapat melihat apa yang ada dibalik cermin selain muka kita, karena terhalang oleh cat merah yang melekat disebaliknya. Tetapi bila cat merah itu kita kikis habis, maka akan tampaklah di sebaliknya bermacam-macam dan berlapis-lapis cermin hingga sampai menembus ke alam Nur, alam Jabarut, alam Lahut, hingga alam Hadrat Hak Allah Ta’ala.
            Itulah sebabnya bila kita hanya baru sebatas mengenal hati sanubari saja, maka yang kita lihat hanya diri kita saja, sebab ditahan oleh cat merah tadi, yaitu sifat-sifat jahat seperti: takabbur, ria, ujub, dengki, hasad, pemarah, loba, tamak, rakus, cinta dunia, dan berbagai penyakit hati lainnya. Tetapi bila mana cat merah itu telah terkikis habis, barulah ia akan menyaksikan alam yang lebih tinggi dan mengetahuilah ia segala rahasia termasuk dirinya dan hakikatnya dan juga alam seluruhnya dan akhirnya mengenallah ia akan Tuhannya. Itulah sebabnya para wali-wali Allah itu lahir dari para sufi yaitu orang-orang yang telah berhasil membersihkan hatinya dengan bantuan mursyidnya pada zahir sedang pada hakikatnya dengan qudrat dan iradat Allah Ta’ala. Di sinilah terletak wajibnya mengenal diri untuk jalan mengenal Allah. 
Continue reading →