PEMBAHASAN
TENTANG KEWAJIBAN BERTAREKAT/BERTASAWUF BAGI SETIAP MUKALLAF DAN DIHUKUMKAN SESAT
BILA TIDAK BERTAREKAT
Oleh : Saifuddin, M.A
Posted by Saifuddin, M.A
: Selasa, 11 September 2012
Tanya : Apakah Wajib Hukum Mempelajari
Tarekat ? Dan apakah semua Tarekat yang tergolong ke dalam Tarekat Mu’tabaroh
(Tarekat yang telah diakui kebenarannya) dapat diikuti ?
Jawab : Syekh Muda Ahmad Arifin menegaskan bahwa wajib
hukumnya mempelajari tarekat bagi setiap Muslim laki-laki dan Perempuan dan
dihukumkan sesat orang-orang yang tidak mempelajari Tarekat. Kenapa
mempelajari Tarekat dihukumkan wajib, karena tanpa bertarekat mustahil Allah
dapat dikenal, itu sebabnya orang-orang yang tidak mempelajari Ilmu Tarekat
dihukumkan sesat, karena mereka tidak mengenal Tuhan yang mereka sembah.
Meskipun
Syekh Muda Ahmad Arifin mewajibkan bertarekat, namun pada saat yang sama ia
juga menganjurkan untuk berhati-hati dalam memilih Tarekat. Agar sampai ke
tempat yang dituju tentu kita harus bertarekat, sebab tanpa bertarekat mustahil
kita akan sampai ke tempat tujuan. Terdapat banyak jalan atau Tarekat yang
dapat ditempuh untuk sampai ke tempat tujuan. Oleh karena Tarekat itu bermakna
jalan, maka jalan itu sendiri pun bermacam-macam; ada jalan datar, ada jalan
mendaki, ada jalan yang lurus, ada jalan yang berkelok-kelok, ada jalan rusak,
bahkan ada jalan yang buntu. Dari sekalian jalan yang ada tentu kita harus
memilih jalan yang terbaik di antaranya. Yang paling penting tentunya adalah
kita harus tahu bahwa jalan (Tarekat) yang kita pilih adalah jalan yang dapat
menyampaikan kita ke tempat yang kita tuju, sebab bila kita tidak tahu jalan
atau salah memilih jalan tentu kita akan tersesat dan tidak akan sampai ke
tempat tujuan. Demikian halnya dengan Tarekat, menurut Syekh Muda Ahmad Arifin
tidak semua Tarekat itu benar dan dapat diikuti. Oleh sebab itu kita harus
selektif dalam memilih Tarekat, sebab Tarekat itu banyak macamnya.
Menurut
Abubakar Aceh, bahwa di Indonesia telah ada badan yang khusus menumpahkan
perhatiannya kepada Tarekat-tarekat yang sudah diselidiki kebenarannya. Hal ini
dinamakan dengan Tarekat Mu’tabaroh. Seorang tokoh Tarekat
terkemuka, Syekh H. Jalaluddin, telah banyak menulis tentang Tarekat-tarekat,
terutama tentang Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Syekh H. Jalaluddin
mengemukakan bahwa di antara Tarekat yang mu’tabar itu ada 41 macam,
yaitu : Tarekat Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Rifa’iyyah,
Ahmadiyyah, Dasukiyyah, Akhbariyyah, Maulawiyyah, Qubrawiyyah, Suhrawardiyyah,
Khalwatiyyah, Jalutiyyah, Bakhdasiyyah, Ghazaliyyah, Rumiyyah, Jastiyyah,
Syabaniyyah, ‘Alawiyyah, Usyaqiyyah, Bakriyyah, Umariyyah, Usmaniyyah,
‘Aliyyah, Abbasiyyah, Haddadiyah, Maghribiyyah, Ghaibiyyah, Hadiriyyah,
Syattariyah, Bayumiyyah, Aidrusiyyah, Sanbliyyah, Malawiyyah, Anfasiyyah,
Sammaniyyah, Sanusiyyah, Idrisiyyah, Badawiyyah.
Bahkan
menurut pengamatan Martin Van Bruinessen, di Indonesia terdapat macam-macam
Tarekat dan organisasi yang mirip Tarekat. Beberapa di antaranya hanya
merupakan Tarekat lokal yang berdasarkan pada ajaran-ajaran dan amalan-amalan
guru tertentu, umpamanya Wahidiyyah dan Siddiqiyyah
di Jawa Timur atau Tarekat Syahadatin di Jawa Tengah, sehingga untuk menarik
garis perbedaan yang tegas antara Tarekat semacam ini dengan aliran kebatinan
hampir-hampir mustahil.
Menurut
Syekh Muda Ahmad Arifin, tidak ada jaminan bahwa Tarekat-tarekat yang dianggap mu’tabaroh
(yang telah diselidiki kebenarannya) dapat dijadikan sebagai jaminan bahwa
Tarekat-tarekat tersebut adalah Tarekat yang benar yaitu Tarekat yang dapat
menyampaikan pengenalan kepada Allah. Jadi sesungguhnya orang yang bertarekat
sekalipun belum tentu ada jaminan bahwa dengan Tarekatnya itu ia dapat mengenal
Allah. Kalau orang yang bertarekat saja belum tentu dapat mengenal Allah,
apalagi orang yang tidak bertarekat, tentu mustahil dapat mengenal Allah, sebab
tanpa berjalan (bertarekat) mustahil ia sampai ke tempat yang dituju.
Menurut
Syekh Muda Ahmad Arifin ada tiga syarat suatu Tarekat dianggap benar dan dapat
diikuti. Apapun nama Tarekatnya tidak boleh diterima bila salah satu dari tiga
syarat ini tidak terpenuhi :
1. Silsilah Tarekatnya harus dari Nabi Muhammad
ke Ali ibn Abi Thalib. Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin, apapun nama Tarekatnya
bila silsilahnya tidak dari Nabi Muhammad ke Ali ibn Abi Thalib, maka
Tarekatnya tidak boleh diterima. Harus ada pembuktian berupa Hadis dari Nabi
bahwa sahabat tersebut telah terbukti menerima Tarekat dari Nabi. Adapun Hadis
yang dijadikan sebagai dalil bahwa Ali telah menerima Tarekat dari Nabi adalah
didasarkan pada Hadis ketika Nabi membai’at Ali ibn Abi Thalib sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi :
وَعَنْ عَلِىٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ
اللهِ أَيُّ الطَّرِيْقَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلُهَا عَلَى عِبَادِ
اللهِ وَأَفْضَلُهَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ: يَاعَلِىُّ عَلَيْكَ
بِدَوَامِ ذِكْرِاللهِ فَقَالَ عَلِىُّ كُلُّ النَّاسِ يَذْكُرُونَ اللهَ فَقَالَ
ص م: يَاعَلِىُّ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ
مَنْ يَقُولُ, اللهُ اللهُ. فَقَالَ لَهُ عَلِىُّ كَيْفَ أَذْكُرُ يَارَسُوْلَ
اللهِ؟ فَقَالَ ص م: غَمِّضْ عَيْنَيْكَ وَاَلْصِقْ شَفَتَيْكَ وَاَعْلَى لِسَانَكَ
وَقُلْ اللهُ اللهُ .
Artinya: “Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu
wajhahu, beliau berkata: Aku katakana, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat
yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan
semulia-mulianya di sisi Allah? Maka sabda Rasulullah, ya Ali, penting atas
kamu berkekalan/senantiasa berzikir kepada Allah. Maka berkatalah Ali, tiap
orang berzikir kepada Allah. Maka Rasulullah bersabda: Ya Ali, tidak akan
terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang
yang mengucapkan Allah, Allah, maka sahut Ali kepada Rasulullah, bagaimana
caranya aku berzikir ya Rasulullah? Maka Rasulullah bersabda: coba pejamkan
kedua matamu dan rapatkan/katubkanlah kedua bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke
atas dan berkatalah engkau, Allah-Allah.
Lidah Ali
telah tertungkat ke atas, tentulah lisannya tidak dapat menyebut Allah, Allah.
Maka pada saat itu juga Ali ibn Abi Thalib mengalami fana fillah.
Setelah Ali sadar, maka Nabi bertanya kepada Ali mengenai perjumpaannya dengan
Allah, maka Ali berkata :
رَأَيْتُ رَبِّى بِعَيْنِ قَلْبِى, فَقُلْتُ لاَشَكَّ
أَنْتَ أَنْتَ اللهُ
“Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan akupun berkata: tidak
aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.
Setelah
Ali menceritakan perjumpaannya dengan Allah, maka kemudian Nabi membawa Ali di
hadapan para umat dan berkata :
اَنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَعَلِى بَابُهَا
“Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintunya”.
Dari beberapa Hadis di atas
mengindikasikan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat Nabi dan sekaligus
sahabat yang diberi izin untuk mengajarkan Ilmu Tarekat ini dengan gelar “Karamullah
Wajhahu” (karam/fana memandang wajah Allah) yaitu suatu gelar yang hanya
diberikan kepada Ali ibn Abi Thalib karena ia telah karam/fana dalam memandang
wajah Allah. Kemudian Ilmu Tarekat ini Ali ajarkan pula kepada Hasan Basri dan
dari Hasan Basri diajarkan kepada Habib Al-Ajmi ,dari Al-Habib diajarkan kepada
Daud Al-Thaiy, dari Daud diajarkan pula kepada Makhruf Al-Kurahi, dari Makhruf
diajarkan pula kepada Junaid Al-Bahdadi. Kemudian timbulah menjadi ilmu
pendidikan yang dinamakan dengan ilmu Tarekat atau Tasawuf.
Jadi syarat utama untuk menjadi seorang
guru atau pemimpin Tarekat adalah harus mencapai maqam fana fillah dan
tradisi ini tetap dipegang teguh di kalangan ahli-ahli Tarekat hingga kini.
Demikianlah ketatnya para Sufi dalam memelihara keotentikan ilmu yang mereka
peroleh dari Rasulullah; sehingga bila ada Tarekat yang silsilahnya tidak dari
Nabi ke Ali ibn Abi Thalib maka Tarekat tersebut tidak dapat diterima, apalagi
bila ada tokoh suatu pendiri Tarekat yang mengaku bahwa ia telah menerima
Tarekat dari Nabi secara langsung lewat mimpi, maka itu adalah hal yang
mustahil. Sebagai contoh adalah Tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Syekh Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn
Mukhtar al-Tijani. Ia lahir di Mahdi pada tahun 1150 M dan wafat tahun 1230 M.
Hasrat al-Tijani untuk mengembangkan ajaran Tarekatnya adalah bermula dari
pertemuannya dengan Nabi Muhammad SAW lewat mimpinya. Ia mendapatkan pelajaran
dari Nabi SAW tentang beberapa wirid dan zikir, kemudian diberikannya ijazah
untuk diajarkan kepada orang lain. Oleh sebab itu kita perdapati di dalam
silsilahnya dari Nabi langsung ke al-Tijani, karena ia telah memperoleh Tarekat
secara langsung lewat mimpi. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bodohlah
tentunya yang mau menerima ajaran Tarekatnya, sebab apabila Ilmu Tarekat dapat
diperoleh lewat mimpi atau ilham, maka batallah Hadis Nabi yang mewajibkan kaum
muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu.
2. Kebenaran ajaran Tarekatnya harus dapat diuji,
tidak bertentangan dengan akal dan tidak bertentangan dengan Ilmu Syari’at
serta harus berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah. Kebenaran suatu Tarekat
dapat diketahui lewat ajaran-ajaran yang disampaikan sang mursyid yang
menjadi pemimpin Tarekat tersebut. Tujuan orang bertarekat adalah untuk
mengenal yang ghaib yaitu Allah. Bagi Ahli Tarekat Allah itu tidak ghaib, maka
apabila sang mursyid dengan ajaran Tarekatnya tidak dapat menyingkap
yang ghaib (Allah) itu menjadi nyata bagi murid-muridnya, maka Tarekatnya tidak
boleh diterima. Sebagai contoh misalnya, ketika mengucapkan dua kalimah
syahadat, sang mursyid harus dapat mempraktekkan bagaimana cara
menyaksikan Allah, agar sesuai antara ucapan dan perbuatan. Apabila bagi sang mursyid
sendiri Allah itu masih ghaib bagaimana mungkin ia dapat menyampaikan
pengenalan tentang Allah kepada murid-muridnya. Selain itu ajaran Tarekat yang
disampaikan oleh sang mursyid tidak boleh bertentangan dengan akal dan
syari’at agama. Oleh sebab itu Syari’at harus tunduk kepada Hakikat dan begitu
juga Hakikat harus tunduk kepada Syari’at dan kedua-duanya tidak boleh ada
pertentangan dan saling menyalahi.
3. Harus ada pembuktian berupa ijazah dari guru
sebelumnya. Salah satu syarat untuk menjadi mursyid yang bertugas
sebagai penyampai Ilmu Tarekat adalah harus memperoleh ijazah atau izin dari
guru sebelumnya. Pemberian ijazah ini sesuai dengan tingkat keberhasilan yang
dicapai oleh sang murid. Ada dua jenis ijazah yang diberikan kepada murid
dengan gelar yang berbeda. Ijazah dengan gelar ”Khalifah” diberikan oleh sang mursyid
bila murid tersebut dianggap telah memenuhi syarat sebagai Khalifah. Adapaun
ijazah dengan gelar ”Syekh” hanya diberikan kepada murid yang telah mencapai
tingkatan kasyaf dan maqam fana fillah. Berdasarkan perbedaan
gelar tersebut, maka peran dan fungsinya juga berbeda. Murid yang memperoleh
gelar Khalifah hanya diberi izin sebatas memberikan bai’at dan memimpin
pelaksanaan tawajjuh, namun ia tidak diberi izin untuk memimpin
khalwat/persulukan bagi murid-muridnya, sebab hanya mereka yang telah mencapai
tingkatan kasyaf dan maqam fana fillah yang dapat memimpin
khalwat. Adapun murid yang telah memperoleh ijazah dengan gelar ”Syekh”, maka
ia diberi izin untuk memberikan bai’at dan memimpin khalwat bagi
murid-muridnya. Oleh sebab itu seorang Khalifah hanya dapat memberikan gelar
Khalifah kepada murid-muridnya dan tidak dapat memberikan gelar ”Syekh” kepada
murid-muridnya. Sebaliknya seorang Syekh dapat memberikan gelar ”Syekh” dan
”Khalifah” kepada murid-muridnya. Oleh sebab itu maju dan mundurnya suatu
Tarekat bergantung pada kualitas murid-muridnya. Murid yang berkualitas adalah
murid yang bersungguh-sungguh di dalam belajar. Hanya murid-murid yang
berkualitaslah yang dapat mencapai maqam fana fillah. Apabila maqam
tersebut tidak dapat dicapai oleh murid-murid yang menjadi penerus Tarekat
dikemudian hari maka hal ini akan mengakibatkan kemunduran Tarekat tersebut.
Inilah yang menjadi penyebab mengapa suatu Tarekat yang dahulunya memiliki
kemasyhuran semasyhur pemimpin Tarekatnya, malah justru belakangan hari oleh
para penerusnya Tarekat tersebut tidak memiliki kemasyhuran lagi dan mungkin
tidak berbobot lagi.
Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa tujuan Ilmu Tarekat adalah untuk mengenal Allah,
sedangkan Tasawuf bertujuan untuk mengarahkan orang untuk mempelajari Ilmu
Tarekat. Sebagai contoh, di dalam Tasauf terdapat ajaran bahwa belajar Tasawuf
harus melalui guru sebagaimana dikatakan Abu Yazid al-Bisthami : ”Barang
siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”.
Adapun maksud dari ungkapan tersebut bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru
adalah bahwa Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat dipelajari tanpa
terlebih dahulu mempelajari Ilmu Tarekat, dan mustahil Ilmu Tarekat dapat
dipelajari tanpa melalui guru. Sebab Ilmu Tarekat adalah ilmu yang bersifat
praktek sedangkan Ilmu Tasawuf bersifat teori. Oleh sebab itu Tasawuf sebagai
suatu disiplin ilmu tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh Ilmu Tarekat.
Artinya kita tidak akan dapat memahami Ilmu Tasawuf tanpa bantuan guru, sebab
tujuan dipelajarinya Ilmu Tasawuf adalah untuk mengenal Allah. Untuk dapat
mencapai pengenalan kepada Allah tidak dapat dipelajari lewat teori, akan
tetapi harus berguru atau belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat
serta Allah sebagaimana Hadis Nabi SAW :
عن دود
عن ابن مسعود قال رسول الله ص م : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ
فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
Artinya: “Sertakan dirimu kepada Allah, jika
kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu
kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu
pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)
Berdasarkan keterangan
Hadis di atas bahwa kita harus menyertakan diri kepada orang yang serta Allah,
artinya kita harus belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta
Allah yang lazim disebut mursyid atau guru atau Syekh. Maka tidaklah
berlebihan jika Abu Yazid al-Bisthami berpendapat bahwa: ”Barang siapa
yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”, pendapat
tersebut didasarkan pada Hadis Nabi SAW :
مَنْ لاَشَيْخٌ مُرْشِدٌ لَهُ فَمُرْشِدُهُ الشَّيْطَانُ
Artinya: “Barangsiapa yang tiada Syekh Mursyid (guru) yang memimpinnya
ke jalan Allah, maka syetanlah yang menjadi gurunya”.
Maksudnya adalah mustahil mereka dapat memahami ajaran Tasawuf tanpa
melalui guru, apalagi untuk dapat mengenal Allah yang ghaib. Maka sudah barang
tentu gurunya adalah syetan, artinya tanpa bantuan guru mustahil Allah dapat
dikenal.
Disinilah
pentingnya kita mempunyai Guru Pembimbing, yang sudah mencapai tahap
makrifatullah, seorang Guru yang Arifbillah, sudah sangat berpengalaman
melewati jalan kepada Tuhan sehingga bisa memberikan kepada kita petunjuk agar
bisa selamat sampai ke tujuan. Dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna
menunjukkan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah),
maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan
pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita
tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam
sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat,
apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam Tarekat
tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan
juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW
dan Allah SWT. Dengan bahasa yang lebih mudah, bila diibaratkan sebagai sebuah
kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh
seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya
dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.
Oleh karena itu, untuk dapat
mengenal Allah tidak cukup hanya dengan pembuktian melalui dalil Naqli
(Ayat-ayat dan Hadis) dan dalil Aqli (Akal) semata, akan tetapi untuk
memperoleh pengenalan kepada Allah anda memerlukan pembimbing rohani yang akan
membimbing anda agar anda mengenal Tuhan yang anda sembah sampai kepada tingkat
makrifat yaitu dapat menyaksikan Allah SWT.
Itulah
sebabnya kenapa orang yang hanya belajar dari bacaan akan memperoleh hasil
bacaan pula. Sementara orang yang belajar dari seorang Guru yang Ahli akan
memperoleh hasil yang berwujud. Jangankan ilmu makrifat kepada Allah, yang
sangat halus dan tak terhingga hebatnya, ilmu biasapun anda harus mempunyai
Guru yang ahli. Anda bisa mempelajari ilmu ekonomi dari bacaan akan tetapi anda
tidak akan bisa menjadi seorang sarjana ekonomi hanya dengan membaca. Anda
memerlukan Guru (Dosen) yang akan membimbing, menguji, sehingga anda diakui
sebagai seorang sarjana. Begitu juga dengan ilmu kedokteran, anda bisa
memperoleh ilmu-ilmu tentang kedokteran dengan cara membaca buku-buku yang
diajarkan di Fakultas Kedokteran, akan tetapi anda tidak akan pernah bisa
menjadi dokter atau diakui sebagai dokter jika anda tidak mempunyai Guru
(Dosen) yang akan membimbing dan menguji anda. Kalau anda memaksakan diri
menjadi dokter (tanpa menuntut ilmu dari yang ahli), maka anda akan menjadi
dokter gadungan yang akan menyusahkan banyak orang.
Orang
yang mengaku bisa mengenal Allah hanya dengan mengandalkan Ilmu Kalam dan
membaca tentang agama dari bahan bacaan saja, serta kemudian mengingkari posisi
penting Guru tidak lain karena kesombongan semata. Memang anda akan mengetahui
banyak ilmu tentang ayat-ayat, dalil-dalil, teori-teori akan tetapi anda tidak
akan bisa mengenal Allah dengan hanya sekedar membaca. Guru yang akan
membimbing anda adalah orang yang telah memperoleh pengakuan dari dari Guru
sebelumnya, dan Guru sebelumnya telah memperoleh pengakuan juga dari Guru
sebelumnya, secara sambung-menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Apabila
jalan kaum Sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syekh,
niscaya orang seperti Imam Al-Ghazali dan syekh Izuddin ibn Abdussalam tidak
perlu berguru kepada seorang Syekh. Sebelum memasuki dunia Tasawuf, keduanya
pernah berkata, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu
selain apa yang ada pada kami, maka dia telah berbuat kebohongan kepada Allah”.
Akan tetapi, setelah Imam Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam yang
tadinya hanya belajar Syari’at kemudian memasuki dunia Tasawuf keduanya
berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan
hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan)”.
Orang yang bisa menemukan kebenaran
bukanlah orang yang banyak membaca buku karena terkadang semakin banyak yang
dipelajari justru tanpa sadar menjadi hijab antara kita dengan Allah. Hanya
kerendahan hati dan sikap mau belajar dan mencari yang menyebabkan seseorang
mengenal Allah SWT., sebagaimana ucapan rendah hati Musa kepada Khaidir, “Bolehkah
aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”(Q.S. al-Kahfi : 66).
Iman Al-Ghazali juga mencari seorang
Syekh yang menunjukkan ke jalan Tasawuf/Tarekat, padahal ia adalah Hujjatul
Islam. Begitu juga, Syekh Izuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui
Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syekh Abu Hasan Asy
Syadzili”. Abdul Wahab Asy Sya’rani berkata, “Apabila kedua ulama besar
ini, yakni Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam, padahal keduanya adalah
orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas tentang Syari’at, maka orang selain
mereka tentu lebih membutuhkan lagi.”
Jadi tidaklah berlebihan jika para
Sufi mengatakan bahawa mempelajari Ilmu Tarekat itu wajib hukumnya sekalipun
sebesar-besar ulama :
طَلِبُ الشَّيْخُ وَجِبٍ عَلَى
كُلِّ مُرِيْدٍ وَلَوْ مِنْ اَكْبَرِالْعُلَمَاءِ
“Bermula belajar kepada Syaikh (menuntut ilmu Tarekat)
itu wajib hukumnya walau sebesar-besar ulama.”
Berdasarkan penjelasan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya mempelajari Ilmu Tarekat. Makna
wajib di sini yaitu tidak boleh tidak, sebab tanpa bertarekat mustahil kita
dapat mengenal Allah dan orang yang tidak kenal Allah sudah barang tentu “sesat”
sebab ia tidak mengenal yang disembahnya, maka seluruh amal ibadahnya sia-sia
dan tak akan dapat melepaskan azab Allah sebagaimana Hadis Nabi :
لاَتَصِحُّ الْعِيْبَدَةُ اِلاَّ بِمَعْرِفَةُ اللهِ
Artinya : “Tidak sah amal ibadah tanpa
pengenalan kepada Allah
Oleh sebab itu siapa saja orang yang mengaku beragama
Islam dan beriman kepada Allah, maka ia harus memiliki guru yang dapat
mengenalkan ia kepada Allah, atau dengan kata lain, ia harus bertarekat atau
bertasawuf. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam Malik :
مَنْ تَفَقَّهَ بِغَيْرِ تَصَوُّفٍ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ
تَصَوُّفَ بِغَيْرِ تَفَقُّهٍ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ
تَحَقَّقَ
Artinya: Barangsiapa mempelajari fiqih
saja tanpa mempelajari tasawuf maka dihukumkan fasiq, dan barangsiapa
mempelajari tasawuf saja tanpa mempelajari fiqih maka dihukumkan zindiq
(menyimpang dari ajaran agama). Dan barangsiapa yang mempelajari kedua-duanya
niscaya ia menjadi golongan Islam yang sesungguhnya.
Imam
Malik berpendapat demikian karena dilatarbelakangi oleh Sabda Nabi SAW:
الشَّرِيْعَةُ بِلاَ حَقِيْقَةُ عَاطِلَةُ وَالْحَقِيْقَةُ
بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ
Artinya: “Bersyariat tanpa berhakikat sia-sia (kosong/hampa) dan
berhakikat tanpa bersyariat batal (tidak sah).
Maka
i’tibar yang kita ambil dari keterangan Imam Malik tersebut, bahwa siapapun
diantara orang Islam yang tidak bertasawuf dengan melakukan aqidah dan syariah,
hukumnya ialah fasik.
Setiap
larangan untuk meninggalkannya, berarti perintah untuk melakukannya. Pokok
pengertian tentang perintah, hukumnya wajib. Dalam hal ini Imam Ali Addaqqaq
mengambil kesimpulan sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Risalah al-Qusyairiah:
وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّرِيْعَةَ حَقِيْقَةٌ مِنْ حَيْثُ
أَنَّهَا وَجَبَتْ بِأَمْرِهِ وَالْحَقِيْقَةُ أَيْضًاشَرِيْعَةٌ مِنْ حَيْثُ
أَنَّ الْمَعَارِفَ بِهِ سُبْحَانَهُ أَيْضًا وَجَبَتْ بِأَمْرِهِ.
Artinya: Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya Syariat itu adalah Hakekat.
Bahwa sesungguhnya Syariat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah. Demikian juga Hakekat adalah wajib
hukumnya dan bahwa sesungguhnya terhadap mengenal Allah swt. adalah wajib
hukumnya dikarenakan perintah Allah.
Maka
tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencari Guru Pembimbing (Mursyid)
yang siap menuntun dan membimbing kita untuk mencapai pengenalan kepada Allah
SWT. carilah Guru yang benar-benar kammil-mukammil,
yang tidak hanya pandai berbicara tentang teori ketuhanan, tetapi juga ahli di
dalam praktek bertauhid yang dapat mengenalkan anda kepada Allah yang ghaib,
sehingga anda dapat beribadah secara khusyuk karena anda telah mengenal Tuhan
yang anda sembah. Abu Atha’ilah as-Sakandari dalam Latha’if al-Minan, berkata,
“Engkau tidak akan kekurangan Mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan
Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari
mereka”.
Berdasarkan
penjelasan di atas cukup jelas bagi kita bahwa mempelajari Tarekat hukumnya
adalah wajib. Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak mengetahuinya, dan
kalau pun mereka mengetahuinya, mereka akan tetap enggan untuk mempelajarinya.
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin ada empat sebab orang tidak mau mempelajari
Tarekat :
- Jika
seorang Guru Besar kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi murid.
- Jika
orang pintar kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi bodoh.
- Jika
orang besar kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi kecil
- Jika
orang tua kalau ia belajar, maka ia kembali menjadi anak-anak.
Keempat hal di atas merupakan penyebab utama yang
membuat orang enggan untuk bertarekat meskipun mereka mengetahui kebenaran
ajaran dari suatu Tarekat. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuknya
kepada kita semua. Amin.
Assalamu'alaikumWr.Wb.
Slam kenal masz..,
Tadi disebutkan bahwa :"Silsilah Tarekatnya harus dari Nabi Muhammad ke Ali ibn Abi Thalib. Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin, apapun nama Tarekatnya bila silsilahnya tidak dari Nabi Muhammad ke Ali ibn Abi Thalib, maka Tarekatnya tidak boleh diterima. Harus ada pembuktian berupa Hadis dari Nabi bahwa sahabat tersebut telah terbukti menerima Tarekat dari Nabi"
Lalu bagaimana dengan Tarekat Naqsyabandiah yang garis silsilahnya dari Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A. ??.,.,